Sejak tanggal 1 Januari 2001 telah terjadi dua
macam penataan ulang sistem pemerintahan Indonesia, pertama hubungan pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat
terhadap pemerintahan daerah provinsi, dan kabupaten/kota atau disebut dengan
hubungan secara vertical dan kedua penataan
hubungan secara horizontal antara eksekutif, legislatif dan yudikatif di
tingkat pusat, begitu juga di tingkat daerah.
Hasil dari penataan ulang
tersebut melahirkan sebuah sistem baru untuk penetapan dan pemilihan kepala
daerah, atau disebut dengan PEMILUKADA. Yang dimaksud dengan pemilihan kepala
daerah secara lansung adalah sebuah proses partisipasi masyarakat dalam memilih
pemimpin sesuai dengan keinginannya
sendiri, sebagai tujuan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan rakyat
yang lebih baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan
kewilayahan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah
serta antar Daerah dengan Daerah dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, dan untuk
menjaga stabilitas pemerintah agar tidak mudah dijatuhkan di tengah jalan
sesuai dengan yang berlaku di dalam sistem presidensial.
Namun, 12
tahun berjalannya sistem demokrasi secara terbuka dan melaksanakan PEMILUKADA disetiap
daerah kurang dapat membuat kemandirian yang ideal dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Mungkin hal ini dikarenakan minimnya pemahaman daerah
tentang pembagian kekuasan (desentralisasi) untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Mereka menganggap desentralisasi adalah interpretasi dari
kerajaan yang sudah lama hilang di bumi nusantara, dan banyak daerah yang
dipimpin oleh sekelompok keluarga feodal, yang menganggap primodialisme sebuah
taji politik lokal. Padahal pendidikan politik dan politik lokal salah satu
teori yang dapat menambahkan wawasan untuk menjalankan roda pemerintahan di
daerah, hal ini sangat disayangkan jika internalisasi pendidikan politik dan
politik lokal hanya di pahami sebatas teori dan tidak dilakoni secara optimal, yang akhirnya berimbas kepada tidak
kondusifnya dalam pelaksanakan pemilihan kepala daerah.
Dalam kaitan ini, jika kita berbicara tentang
birokrasi, maka sepintas fikiran menganggap tidak terlepas pada pengaruh suksesi
kepala daerah. Memang tidak sedikit pada kenyataannya raja-raja yang di daerah
dan atau calon-calon raja tersebut mengaitkan birokrasi dalam politik praktis,
baik pada saat proses pemilihan ataupun setelah usai dari suksesi kepala
daerah. Kenetralan birokrasi tidak lagi menjadi nilai (value) yang harus dipertahankan, banyaknya mesin pemerintah telah beralih
haluan menjadi tangan pemerintah, yang seharusnya melayani kepentingan rakyat
lagi-lagi menggerogoti hak-hak pelayanan untuk rakyat.
Masalah ini bukanlah problem yang
baru muncul dipermukaan, dan sudah banyak para ahli memperbincangakannya. Tapi
tidak salah jika kita mencuatkannya lagi di permukaan umum, karena semakin
maraknya PEMILUKADA semakin marak juga kenetralan birokrasi dipertanyakan. Terkadang
para birokrat lebih-lebih memasuki ranah politik praktis, yang secara
terang-terangan mendukung dan mengusung salah satu kandidat petarung. Bahkan
tidak banyak pula para birokrat yang lengser dan naik jabatanya dari hasil
suksesi tersebut, namun hal ini tidak menjadi sebuah perhatian bagi pemerintah
untuk dijadikan sebagai bahan evaluasi
dari keberhasilan atau kegagalan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Dalam bukunya Dr. Ahmad
Sumargono, SE, MM. 2009, Affandi beraggapan, bahwa birokrat diibaratkan sebagai
“mesin” dari kendaraan birokrasi pemerintah. Sebagai “mesin” pada dasarnya ia
harus loyal terhadap institusinya dan netral dalam menjalankan tugas-tugas,
netral yang dimaksud tidak dipengaruhi oleh politik yang dominan dan tidak ikut
serta dalam platfom partai politik, tetapi mempunyai sikap dan prilaku melayani
rakyat sepuh hati. Tapi konsep birokrasi kita saat ini dapat dikatakan banyak
mengguna teori Weber, yang mana birokrasi diartikan sebagai officialdom, rakyat sangat tergantung
pada pejabat birokrasi tetapi tidak sebalikya pejabat yang tergantung pada
rakyat.
Ditambah lagi PNS kita banyak
menggunakan konsep teorinya Karl Marx, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr.
Miftah Thoha, MPA. 2010; birokrasi adalah negara atau pemerintahan itu sendiri,
birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasinya. Dan meskipun
sudah dilahirkannya UU No. 43 tahun 1999 tentang Pegawai Negeri dan Peraturan
Pemerintah No. 5 dan 12 tahun 1999 tentang Netralitas Birokrasi, tetapi tidak
menyurutkannya menggunakan dan mengganggap Karl Marx dan Weber adalah bapak
birokrat Indonesia.
Dan hal ini sangat berpengaruh
kepada netralitas birokrasi terhadap pemerintah yang berkuasa, dan
mengakibatkan keracunan kepada konsep trias politika Indonesia, yang seharusnya
ketiga lembaga negara ini dituntutkan untuk saling independen satu sama lain,
yang kini menjadi saling dipengaruhi oleh teori tersebut.
Budaya Yang Mempengaruhi
Budaya politik (political culture) adalah sebuah ciri
dari sistem politik yang dianut, sebagai mana dikemukakan oleh V. O. Key, Jr. salah
satu fungsi penting birokrasi adalah membentuk nilai-nilai suatu budaya,
seleruhan sistem nilai, moral, gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang
didapat dari belajar (Dr. Ahmad Sumargono, SE, MM. 2009).
Ada empat faktor budaya birokrasi
yang mempengaruhi sistem budaya politik lokal; pertama birokrasi sebagai sebuah “institusi pemerintah” yang
memegang peranan politik amat penting dalam penentuan kebijakan pemerintah di
daerah, yang berujung kepada dominasi budaya politik primodial kesukuanisme, sehingga
independensi pelayanannya menghasilkan tangan-tangan besi bagi penguasa yang
menguasai pemerintahan tersebut. Kedua birokrasi
dijadikan tameng dalam memahami “budaya
politik elit”, hal ini disebabkan sebagian elit politik Indonesia terdiri dari
para birokrat, yaitu aparatur negara, baik eksekutif maupun legeslatif. Dan
birokrasi dijadikan salah satu penentu dalam pembangunan daerah, baik sebagai
pemikir, perencanaan, pelaksanan dan pengawasan pembangunan, sebagaimana
tercermin dalam konsep “administrator pembangunan”. Sehingga paranan civil society sedikit dikesampingkan
oleh pihak yang berkuasa, yang membuat pemerintah daerah jauh dari nilai-nilai good governance dan menyuburkan patalogi
birokrasi. Ketiga budaya klonialisme (feodalisme) masih mengendap pada
birokrasi Indonesia, yaitu menganggap pemimpin pemerintahan sebagai raja yang
selalu benar, selalu diikuti perkataannya, walaupun membuat penyuburan kantong
saku pemimpin. Keempat loyalitas
kepada atasan bukan kepada organisasinya, meskipun pemimpinya keluar dari jalur
konsep organisasi tetapi keberanian untuk mengemukakan kesalahannya tidak dijadikan
sebuah kekuatan kepentingan umum (general
interest). Dan birokrasi belum berorientasi pada prestasi, karena bawahan
dianggap sebagai saingan dalam sebuah organisasi, yang mengakibatkan kebiasaan
menunggu petunjuk dan pengarahan atasan sehingga kurangnya inisiatif untuk
melayani masyarakat.
Oleh karena itu, jika mengahrapkan PEMILUKADA
yang menuntut netralitas birokrasi yang baik dan dapat menghasilkan sebuah
proses demokrasi dalam rangka membentuk dan mendewasakan pendidikan politik
menuju kedamaian, ketentraman keamanan, dan kesejahteraan kehidupan
bermasyarakat. Haruslah memperhatikan nilai-nilai dalam berdemokrasi yang
mengutamakan kebersamaan, kekeluargaan, dan keterbukaan dalam setiap perumusan
kebijakan pemerintah, sebab harus kita sadari Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah satu kesatuan yang terikat dalam kebersamaan menuju
kesejahteraan rakyat.
* Sarjana Ilmu Pemerintahan Fakultas Syariah IAIN STS
Jambi dan koordinator Forum Komunikasi dan Kerjasama Mahasiswa Ilmu
Pemerintahan Se-Indonesia (FOKKERMAPI) SUMBAGSEL, periode 2010-2011, pengurus
HMI Cabang Jambi Departemen Kewirausahan dan Pengembangan Profesi (KPP),
periode 2010-2011, direktur LKBHMI HMI Cabang Jambi periode 2010-2011, anggota
Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) cabang Jambi, pengurus Himpunan
Mahsiswa Sarolangun (HIMSAR) Ketua Bidang Sumberdaya Manusia, periode
2011-2013. Contak person (0852 6645 4691, 0878 9660 9280)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar