Jokowi
meraih gelar insinyur dari Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 1985. Ketika mencalonkan diri sebagai walikota Solo, banyak yang meragukan kemampuan pria yang
berprofesi sebagai pedagang mebel rumah dan taman ini; bahkan hingga saat ia
terpilih. Namun setahun setelah ia memimpin, banyak gebrakan progresif
dilakukan olehnya. Ia banyak mengambil contoh pengembangan kota-kota di Eropa
yang sering ia kunjungi dalam rangka perjalanan bisnisnya.
Di bawah
kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang pesat. Branding untuk kota Solo
dilakukan dengan menyetujui moto "Solo: The Spirit of Java". Langkah
yang dilakukannya cukup progresif untuk ukuran kota-kota di Jawa: ia mampu
merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk
merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka, memberi syarat pada investor untuk
mau memikirkan kepentingan publik, melakukan komunikasi langsung rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi
lokal) dengan masyarakat. Taman Balekambang, yang terlantar semenjak
ditinggalkan oleh pengelolanya, dijadikannya taman. Jokowi juga tak segan
menampik investor yang tidak setuju dengan prinsip kepemimpinannya. Sebagai
tindak lanjut branding ia mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi
Kota-kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006. Langkahnya berlanjut
dengan keberhasilan Surakarta menjadi tuan rumah Konferensi organisasi tersebut
pada bulan Oktober 2008 ini. Pada tahun 2007 Surakarta juga telah menjadi tuan
rumah Festival Musik Dunia (FMD) yang diadakan di kompleks Benteng Vastenburg
yang terancam digusur untuk dijadikan pusat bisnis dan perbelanjaan. FMD pada
tahun 2008 diselenggarakan di komplek Istana Mangkunegaran. Berkat prestasi
tersebut, Jokowi terpilih menjadi salah satu dari "10 Tokoh
2008" oleh Majalah Tempo.
Asal Nama
Julukan Jokowi
“Jokowi itu
pemberian nama dari buyer saya dari Prancis,” begitu kata Wali Kota Solo, Joko
Widodo, saat ditanya dari mana muncul nama Jokowi. Kata dia, begitu banyak nama
dengan nama depan Joko yang jadi eksportir mebel kayu. Pembeli dari luar bingung untuk
membedakan, Joko yang ini apa Joko yang itu. Makanya, dia terus diberi nama
khusus, ‘Jokowi’. Panggilan itu kemudian melekat sampai sekarang. Di kartu nama
yang dia berikan tertulis, Jokowi, Wali Kota Solo. Belakangan dia mengecek, di
Solo yang namanya persis Joko Widodo ada 16 orang.
Saat ini,
Jokowi menjabat untuk periode kedua. Kemenangan mutlak diperoleh saat pemilihan
wali kota tahun lalu. Nama Jokowi kini tidak hanya populer, tapi kepribadiannya juga disukai masyarakat. Setidaknya, ketika
pergi ke pasar-pasar, para pedagang beramai-ramai memanggilnya, atau paling
tidak berbisik pada orang sebelahnya, “Eh..itu Pak Joko.”
Bagaimana
ceritanya sehingga dia bisa dicintai masyarakat Solo? Kebijakan apa saja yang
telah membuat rakyatnya senang? Mengapa pula dia harus menginjak pegawainya?
Berikut wawancara wartawan Republika, Ditto Pappilanda, dengan Jokowi dalam
kebersamaannya sepanjang setengah hari di seputaran Solo.
Sikap apa
yang Anda bawa dalam menjalankan karier sebagai birokrat?
Secara prinsip, saya hanya bekerja untuk rakyat. Hanya itu, simpel. Saya enggak berpikir macam-macam, wong enggak bisa apa-apa. Mau dinilai tidak baik, silakan, mau dinilai baik, ya silakan. Saya kan tugasnya hanya bekerja. Enggak ada kemauan macam-macam. Enggak punya target apa-apa. Bekerja. Begitu saja.
Secara prinsip, saya hanya bekerja untuk rakyat. Hanya itu, simpel. Saya enggak berpikir macam-macam, wong enggak bisa apa-apa. Mau dinilai tidak baik, silakan, mau dinilai baik, ya silakan. Saya kan tugasnya hanya bekerja. Enggak ada kemauan macam-macam. Enggak punya target apa-apa. Bekerja. Begitu saja.
Bener, saya
tidak muluk-muluk dan sebenarnya yang kita jalankan pun semua orang bisa
ngerjain. Hanya, mau enggak. Punya niat enggak. Itu saja. Enggak usah tinggi-tinggi.
Sederhana sekali.
Contoh, lima
tahun yang lalu, pelayanan KTP kita di kecamatan semrawut. KTP bisa dua minggu,
bisa tiga minggu selesai. Tidak ada waktu yang jelas. Bergantung pada yang meminta,
seminggu bisa, dua minggu bisa. Tapi, dengan memperbaiki sistem, apa pun akan
bisa berubah. Menyiapkan sistem, kemudian melaksanakan sistem itu, dan kalau
ada yang enggak mau melaksanakan sistem, ya, saya injak.
Awalnya
reaksi internal bagaimana? Ya biasa, resistensi setahun di depan, tapi setelah
itu, ya, biasa saja. Semuanya kalau sudah biasa, ya semuanya senang. Ya, kita
mengerti itu masalah kue, ternyata ya juga bisa dilakukan.
Untuk
mengubah sistem proses KTP itu, tiga lurah saya copot, satu camat saya copot.
Saat itu, ketika rapat diikuti 51 lurah, ada tiga lurah yang kelihatan tidak
niat. Enggak mungkin satu jam, pak, paling tiga hari, kata mereka. Besoknya
lurah itu tidak menjabat. Kalau saya, gitu saja. Rapat lima camat lagi, ada
satu camat, sulit pak, karena harus entri data. Wah ini sama, lah. Ya, sudah.
Nyatanya,
setelah mereka hilang, sistemnya bisa jalan. Seluruh kecamatan sekarang sudah
seperti bank. Tidak ada lagi sekat antara masyarakat dan pegawai, terbuka
semua. Satu jam juga sudah jadi. Rupiah yang harus dibayar sesuai perda, Rp
5.000.
Anda juga
punya pengalaman menarik dalam penanganan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang
kemudian banyak menjadi rujukan? Iya. Sekarang banyak daerah-daerah ke sini,
mau mengubah mindset. Oh ternyata penanganan (PKL) bisa tanpa berantem. Memang
tidak mudah. Pengalaman kami waktu itu adalah memindahkan PKL di Kecamatan
Banjarsari yang sudah dijadikan tempat jualan bahkan juga tempat tinggal selama
lebih dari 20 tahun. Kawasan itu sebetulnya kawasan elite, tapi karena menjadi
tempat dagang sekaligus tempat tinggal, yang terlihat adalah kekumuhan.
Lima tahun
yang lalu, mereka saya undang makan di sini (ruang rapat rumah dinas wali
kota). Saya ajak makan siang, saya ajak makan malam. Saya ajak bicara. Sampai 54
kali, saya ajak makan siang, makan malam, seperti ini. Tujuh bulan seperti ini.
Akhirnya, mereka mau pindah. Enggak usah di-gebukin.
Mengapa
butuh tujuh bulan, mengapa tidak di tiga bulan pertama? Kita melihat-melihat
angin, lah. Kalau Anda lihat, pertama kali mereka saya ajak ke sini, mereka
semuanya langsung pasang spanduk. Pokoknya kalau dipindah, akan berjuang sampai
titik darah penghabisan, nyiapin bambu runcing. Bahkan, ada yang mengancam
membakar balai kota.
Situasi
panas itu sampai pertemuan ke berapa? Masih sampai pertemuan ke-30. Pertemuan
30-50 baru kita berbicara. Mereka butuh apa, mereka ingin apa, mereka khawatir
mengenai apa. Dulu, mereka minta sembilan trayek angkot untuk menuju wilayah
baru. Kita beri tiga angkutan umum. Jalannya yang sempit, kita perlebar.
Yang sulit
itu, mereka meminta jaminan omzet di tempat yang baru sama seperti di tempat
yang lama. Wah, bagaimana wali kota disuruh menjamin seperti itu. Jawaban saya,
rezeki yang atur di atas, tapi nanti selama empat bulan akan saya iklankan di
televisi lokal, di koran lokal, saya pasang spanduk di seluruh penjuru kota.
Akhirnya, mereka mau pindah.
Pindahnya
mereka saya siapkan 45 truk, saya tunggui dua hari, mereka pindah
sendiri-sendiri. Pindahnya mereka dari tempat lama ke tempat baru saya kirab
dengan prajurit keraton. Ini yang enggak ada di dunia mana pun. Mereka bawa
tumpeng satu per satu sebagai simbol kemakmuran. Artinya, pindahnya senang.
Tempat yang lama sudah jadi ruang terbuka hijau kembali.
Omzetnya di
tempat yang baru ? Bisa empat kali. Bisa tanya ke sana, jangan tanya saya.
Tapi, ya kira-kira ada yang sepuluh kali, ada yang empat kali. Rata-rata empat
kali. Ada yang sebulan Rp 300 juta. Itu sudah bukan PKL lagi, geleng-geleng
saya.
Bagaimana
dengan PKL yang lain? Setelah yang eks-PKL Banjarsari pindah, tidak sulit
meyakinkan yang lain. Cukup pertemuan tiga sampai tujuh kali pertemuan selesai.
Sampai saat ini, kita sudah pindahkan 23 titik PKL, tidak ada masalah.
Lha yang
repot sekarang ini malah pedagang PKL itu minta direlokasi. Kita yang nggak
punya duit. Sampai sekarang ini, masih 38 persen PKL yang belum direlokasi.
Jadi, kalau masih melihat PKL di jalan atau trotoar, itu bagian dari 38 persen tadi.
Tampaknya,
pemberdayaan pasar menjadi perhatian Anda? Oiya. Kita sudah merenovasi 34 pasar
dan membangun pasar yang baru di tujuh lokasi. Jika dikelola dengan baik, pasar
ini mendatangkan pendapatan daerah yang besar.
Dulu, ketika
saya masuk, pendapatan dari pasar hanya Rp 7,8 miliar, sekarang Rp 19,2 miliar.
Hotel hanya Rp 10 miliar, restoran Rp 5 miliar, parkir Rp 1,8 miliar,
advertising Rp 4 miliar. Hasil Rp 19,2 miliar itu hanya dari retribusi harian
Rp 2.600. Pedagangnya banyak sekali, kok. Ini yang harus dilihat. Asal
manajemennya bagus, enggak rugi kita bangun-bangun pasar. Masyarakat-pedagang
terlayani, kita dapat income seperti itu.
Sementara
kalau mal, enggak tahu saya, paling bayar IMB saja, kita mau tarik apa?
Makanya, mal juga kita batasi. Begitu juga hypermarket kita batasi. Bahkan,
minimarket juga saya stop izinnya. Rencananya dulu akan ada 60-80 yang buka,
tapi tidak saya izinkan. Sekarang hanya ada belasan.
Tapi,
sepertinya Pasar Klewer belum tersentuh ya, kondisinya masih kurang nyaman?
Klewer itu, waduh. Duitnya gede sekali. Kemarin, dihitung investor, Rp 400 miliar. Duit dari mana? Anggaran berapa puluh tahun, kita mau cari jurus apa belum ketemu. Anggaran belanja Solo Rp 780 miliar, tahun ini Rp 1,26 triliun. Tidak mampu kita. Pedagang di Klewer lebih banyak, 3.000-an pedagang, pasarnya juga besar sekali. Di situ, yang Solo banyak, Sukoharjo banyak, Sragen banyak, Jepara ada, Pekalongan ada, Tegal ada. Batik dari mana-mana. Tapi, saya yakin ada jurusnya, hanya belum ketemu aja.
Klewer itu, waduh. Duitnya gede sekali. Kemarin, dihitung investor, Rp 400 miliar. Duit dari mana? Anggaran berapa puluh tahun, kita mau cari jurus apa belum ketemu. Anggaran belanja Solo Rp 780 miliar, tahun ini Rp 1,26 triliun. Tidak mampu kita. Pedagang di Klewer lebih banyak, 3.000-an pedagang, pasarnya juga besar sekali. Di situ, yang Solo banyak, Sukoharjo banyak, Sragen banyak, Jepara ada, Pekalongan ada, Tegal ada. Batik dari mana-mana. Tapi, saya yakin ada jurusnya, hanya belum ketemu aja.
Soal
pendidikan, di beberapa daerah sudah banyak dilakukan pendidikan gratis, apakah
di Solo juga begitu? Kita beda. Di sini, kita menerbitkan kartu untuk siswa,
ada platinum, gold, dan silver. Mereka yang paling miskin itu memperoleh kartu
platinum. Mereka ini gratis semuanya, mulai dari uang pangkal sampai kebutuhan
sekolah dan juga biaya operasional. Kemudian, yang gold itu mendapat fasilitas,
tapi tak sebanyak platinum. Begitu juga yang silver, hanya dibayari pemkot
untuk kebutuhan tertentu.
Itu juga
yang diberlakukan untuk kesehatan? Iya, ada kartu seperti itu, ada gold dan
silver. Gold ini untuk mereka yang masuk golongan sangat miskin. Semua gratis, perawatan rawat inap, bahkan cuci
darah pun untuk yang gold ini gratis.
Tampaknya,
sekarang masyarakat sudah percaya pada Anda, padahal di awal terpilih, banyak
yang sangsi? Yah, satu tahun, lah. Namanya belum dikenal, saya kan bukan
potongan wali kota, kurus, jelek. Saya juga enggak pernah muncul di Solo,
apalagi bisnis saya 100 persen ekspor. Ada yang sangsi, ya biar saja, sampai
sekarang enggak apa-apa. Mau sangsi, mau menilai jelek, terserah orang.
Dulu, apa
niat awalnya jadi wali kota? Enggak ada niat, kecelakaan. Ndak tahu itu. Dulu,
pilkada pertama, kita dapat suara 37 persen, menang tipis. Wong saya bukan
orang terkenal, kok. Yang lain terkenal semuanya kan, saya enggak. Tapi,
kelihatannya masyarakat sudah malas dengan orang terkenal. Mau coba yang enggak
terkenal. Coba-coba, jadi saya bilang kecelakaan tadi itu memang betul.
Hal apa yang
paling mengesankan selama Anda menjadi wali kota? Paling mengesankan? Paling
mengesankan itu, kalau dulu, kan, wali kota mesti meresmikan hal yang
gede-gede. Meresmikan mal terbesar besar misalnya. Tapi, sekarang, gapura, pos
ronda, semuanya saya yang buka, kok. Pos ronda minta dibuka wali kota, gapura
dibuka wali kota, ya gimana rakyat yang minta, buka aja. Ya, kadang-kadang lucu
juga. Tapi kita nikmati.
Apa
kesulitan yang paling pertama Anda temui saat menjabat sebagai wali kota?
Masalah aturan. Betul. Kita, kalau di usaha, mencari yang se-simpel mungkin, seefisien mungkin. Tapi, kita di pemerintahan enggak bisa, ada tahapan aturan. Meskipun anggaran ada, aturannya enggak terpenuhi, enggak bisa jalani. Harusnya, bisa kita kerjain dua minggu, harus menunggu dua tahun. Banyak aturan-aturan yang justru membelenggu kita sendiri, terlalu prosedural. Kita ini jadi negara prosedur.
Masalah aturan. Betul. Kita, kalau di usaha, mencari yang se-simpel mungkin, seefisien mungkin. Tapi, kita di pemerintahan enggak bisa, ada tahapan aturan. Meskipun anggaran ada, aturannya enggak terpenuhi, enggak bisa jalani. Harusnya, bisa kita kerjain dua minggu, harus menunggu dua tahun. Banyak aturan-aturan yang justru membelenggu kita sendiri, terlalu prosedural. Kita ini jadi negara prosedur.
Apa
pertimbangannya saat Anda mencalonkan untuk kali kedua? Sebetulnya, saya enggak
mau. Mau balik lagi ke habitat tukang kayu. Saat itu, setiap hari datang
berbondong-bondong berbagai kelompok yang mendorong saya maju lagi. Mereka
katakan, ini suara rakyat. Saya berpikir, ini benar ndak, apa hanya rekayasa
politik. Dua minggu saya cuti, pusing saya mikir itu. Saya pulang, okelah saya
survei saja. Saya survei pertama, dapatnya 87 persen. Enggak percaya, saya
survei lagi, dapatnya 87 persen lagi.
Setelah
survei itu, saya melihat, benar-benar ada keinginan masyarakat. Jadi, yang datang ke saya itu benar. Dan
ternyata memang saya dapat hampir 91 persen. Saya lihat ada harapan dan
ekspektasi yang terlalu besar. Perhitungan saya 65-70 persen. Hitungan di atas
kertas 65:35, atau 60:40, kira-kira.
Ada
kekhwatiran tidak, ketika lepas jabatan, semua yang Anda bangun tetap terjaga?
Pertama ada blueprint, ada concept plan kota. Paling tidak, pemimpin baru nanti enggak usah pakai 100 persen, seenggaknya 70 persen. Jangan sampai, sudah SMP, kembali lagi ke TK. Saya punya kewajiban juga untuk menyiapkan dan memberi tahu apa yang harus dilakukan nantinya.
Pertama ada blueprint, ada concept plan kota. Paling tidak, pemimpin baru nanti enggak usah pakai 100 persen, seenggaknya 70 persen. Jangan sampai, sudah SMP, kembali lagi ke TK. Saya punya kewajiban juga untuk menyiapkan dan memberi tahu apa yang harus dilakukan nantinya.
Biodata Joko
Widodo
Nama : Joko Widodo
Tempat
Tanggal Lahir : Surakarta, 21 Juni 1961
Agama : Islam
Pekerjaan : Pengusaha
Agama : Islam
Profil
Facebook : jokowi
Akun twitter
: jokowi_do2
Email : jokowi@indo.net.id
Alamat
Kantor : Jl. Jend.
Sudirman No. 2 Telp. 644644, 642020, Psw 400, Fax. 646303
Alamat Rumah
Dinas : Rumah Dinas Loji Gandrung Jl.
Slamet Riyadi No. 261 Telp. 712004 HP. 0817441111
Pendidikan :
SDN 111
Tirtoyoso Solo
SMPN 1 Solo
SMAN 6 Solo
Fakultas
Kehutanan UGM Yogyakarta lulusan 1985
Karir:
Pendiri
Koperasi Pengembangan Industri Kecil Solo (1990)
Ketua Bidang
Pertambangan & Energi Kamar Dagang dan Industri Surakarta (1992-1996)
Ketua
Asosiasi Permebelan dan Industri Kerajinan Indonesia Surakarta (2002-2007)
Penghargaan:
Joko Widodo
terpilih menjadi salah satu dari "10 Tokoh 2008"
Menjadi
walikota terbaik tahun 2009
Pak Joko
Widodo jg meraih penghargaan Bung Hatta Award, atas kepemimpinan dan kinerja
beliau selama membangun dan memimpin kota Solo.
Universitas
Sebelas Maret Surakarta (UNS) Award
Selain itu,
berkat kepemimpinan beliau (dan tentunya semua pihak yg membantu), kota Solo jg
banyak meraih penghargaan, di antaranya
Kota
Pro-Investasi dari Badan Penanaman Modal Daerah Jawa Tengah
Kota Layak
Anak dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan
Wahana
Nugraha dari Departemen Perhubungan
Sanitasi dan
Penataan Permukiman Kumuh dari Departemen Pekerjaan Umum
Kota dengan
Tata Ruang Terbaik ke-2 di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar