DAFTAR ISI
Bab I
Landasan dan Kerangka
Berfikir --------- 1
Bab II
Dasar-dasar Kepercayaan
---------- 4
Bab III
Hakekat Penciptaan dan
Ekskatologi (Ma’ad) --------- 8
Bab IV
Dasar-Dasar Ke-manusiaan
--------- 10
Bab V
Kemerdekaan Manusia (IkhtiarManusia)
dan Keniscayaan
Universal (Taqdir Ilahi) --------- 13
Bab VI
Individu dan Masyarakat
--------- 16
Bab VII
Keadilan Sosial dan
Keadilan Ekonomi --------- 19
Bab VIII
Sains Islam --------- 23
Referensi --------- 29
Rujukan Al Qur’an
----------- 33
|
Landasan dan
Kerangka Berpikir
Dalam benak/pikiran
manusia terdapat sejumlah gagasan-gagasan baik yang bersifat tunggal (seperti gagasan kita tentang Tuhan, Dewa,
malaikat, surga, neraka, kuda, batu, putih, gunung dan lain-lain) maupun
majemuk (seperti gagasan kita tentang
Tuhan Pengasih, Dewa Perusak, Malaikat pembawa wahyu, kuda putih, gunung batu
dan lain-lain). Bentuk pengetahuan-pengetahuan ini disebut pengetahuan
tasawwur (konsepsi). Seluruh bentuk-bentuk proposisi keyakinan atau kepercayaan
apapun pada awalnya hanyalah merupakan bentuk konsepsi sederhana ini. Mengapa
bisa demikian? Hal ini karena adalah mustahil seseorang dapat meyakini atau
menpercayai sesuatu jika sesuatu itu pada awalnya bukan merupakan sebuah
konsepsi baginya.
Tetapi pengetahuan
tasawwur (Konsepsi) sebagaimana telah diketahui hanyalah merupakan
gagasan-gagasan sederhana yang di dalamnya belum ada penilaian maka itu ia
dapat saja benar atau salah. Oleh karenanya seseorang tidak diperkenankan untuk
merasa puas hanya dengan pengetahuan konsepsi. tetapi ia harus melangkah untuk
mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin yaitu pengetahuan-pengetahuan
tasdhiqi. Dalam artian bahwa ia harus melakukan suatu proses penilaian terhadap
setiap gagasan-gagasan (baik tunggal
maupun majemuk) atau konsepsinya itu agar dapat diyakini. Lantas, pertanyaannya
adalah apa landasan pokok penilaian kita di dalam menilai seluruh
gagasan-gagasan kita yang mana kebenarannya mestilah bersifat mutlak dan pasti?
Dalam kanca perdebatan
filosofis ketika para pemikir mencoba menjawab hal pokok ini terbentuklah tiga
mazhab berdasarkan doktrinnya masing-masing. Ketiga mazhab itu adalah pertama, mazhab ‘metafisika Islam’
dengan doktrin aqliahnya, kedua,
mazhab emperisme dengan doktrin emperikalnya dan ketiga, mazhab skriptualisme dengan doktrin tekstualnya. Metafisika
Islam dalam hal ini menjadikan prima
principia dan kausalitas serta metode deduktif sebagai kerangka
berfikirnya. Adapun mazhab emperisme menjadikan pengalaman inderawi atau eksperimen
sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu dimana induktif sebagai kerangka
berfikirnya. Sementara mazhab skriptualisme menjadikan teks-teks kitab suci
sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu serta tekstual dalam kerangka
berfikirnya.
Mazhab kedua (empirisme)
menolak seluruh bentuk landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain.
Begitu pula bagi mazhab ketiga (skriptualisme), mereka skeptis terhadap
landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Adapun bagi mazhab
pertama (metafisika Islam), mereka tidak menolak sumbangsih-informasi dari
teks-teks kitab suci dan pengalaman inderawi atau eksperimen -yang dijadikan landasan
berfikir bagi kedua mazhab yang lain- tetapi yang ditolaknya
adalah bila keduanya (pengalaman dan teks-teks kitab) itu merupakan landasan
atau kriteria dasar dalam setiap penilaian hal-hal ilmiah filosofis maupun
teologis.
Bagi mazhab pertama
(‘metafisika Islam’) pengalaman inderawi atau data eksperimen merupakan
informasi-informasi yang sangat perlu dalam upaya kita mengetahui aspek
sekunder dari alam materi. Atau dengan kata lain data eksperimen atau
pengalaman inderwi sangatlah dibutuhkan bila obyek pembahasan kita adalah
khusus mengenai hal-hal yang sebagian bersifat ilmiah dan sebagian lagi
bersifat filosofis. Adapun teks-teks kitab suci sangatlah dibutuhkan dalam
upaya kita mengetahuai aspek sekunder dari keadaan-keadaan (kondisi objektif)
seperti alam gaib, akhirat,
kehendak-kehendak suci Tuhan atau dengan kata lain jika obyek pembahasan kita
berkenaan dengan sebagian dari obyek filosofis (metafisika dan teologi) yang
dalam hal ini pengalaman inderawi atau eksperimen tak dibutuhkan sama sekali.
Karena itu dalam kerangka berfikir Islam, kedua data di atas (data pengalaman
inderawi atau eksperimen dan teks-teks kitab suci) merupakan premis-premis
minor dalam sistematika deduktif.
Pada akhirnya tak dapat
diingkari bahwa dari mazhab metafisika Islam
yang berlandaskan prima principia dan
hukum objektif kausalitas serta kerangka deduktifnya merupakan satu-satunya
landasan berfikir di dalam menilai segala sesuatu. Tanpa pengetahuan dasar
tersebut mustahil ada pengetahuan tasawwur
(konsepsi) maupun tasdhiq (assent)
apapun. Tak dapat dibayangkan apa yang terjadi bila doktrin dari metafisika
Islam ini bukan merupakan watak wujud (realitas objektif) yang mengatur segala
sesuatu termasuk pikiran? Maka kebenaran dapat menjadi sama dengan
kesalahannya, bahwa setiap peristiwa
dapat terjadi tanpa ada sebabnya. Bila demikian adanya maka tentu meniscayakan
mustahilnya penilaian. Mengapa demikian? Karena watak penilaian adalah ingin
diketahuinya “sesuatu itu (konsepsi)
apakah ia benar atau salah” atau ingin diketahuinya “mengapa dan kenapa sesuatu itu dapat terjadi”. Artinya, jika
pengetahuan dasar tersebut bukan merupakan watak dan hukum realitas yang
mengatur segala sesuatu termasuk pikiran maka seluruh bangunan pengetahuan
manusia baik di bidang ilmiah, filosofis dan teologi menjadi runtuh dan tak
bermakna.¯
|
Dasar-dasar
Kepercayaan
Manusia adalah mahluk percaya.
Pada kadarnya masing-masing, setiap mahluk telah memiliki kepercayaan/kesadaran
berupa prinsip-prinsip dasar yang niscaya lagi rasional yang diketahui secara
intuitif (common sense) yang menjadi
Kepercayaan utama makhluk sebelum ia merespon segala sesuatu diluar dirinya.
Dengan bekal ini, manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan mempercayai
pengetahuan-pengetahuan baru melalui aktivitas berpikir. Berpikir adalah
aktivitas khas manusia dalam upaya memecahkan masalah-masalah dengan modal
prinsip-prinsip pengetahuan sebelumnya.
Memiliki sebuah
kepercayaan yang benar, yang selanjutnya melahirkan tata nilai, adalah sebuah
kemestian bagi perjalanan hidup manusia. pada hakikatnya, perilaku manusia yang
tidak peduli untuk berkepercayaan benar dan Manusia yang berkepercayaan salah
atau dengan cara yang salah tidak akan mengiringnya pada kesempurnaan. Maka
mereka tidak ubahnya seperti binatang. Manusia harus menelaah secara objektif
sendi-sendi kepercayaannya dengan segala potensi yang dimilkinya.
Kajian yang mendalam
tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan melahirkan sebuah
kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk
menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia mencari
Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna (Al-Haqq).
Ada berbagai macam
pandangan yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak
(Zat yang maha sempurna) tersebut sehingga mereka menganggap bahwa alam ini
terjadi dengan sendirinya (kebetulan) tidak ada yang mengadakannya.
Metafisika Islam dengan
Prima principianya sebagai prinsip dasar dalam berpikir mampu menyelesaikan
perdebatan itu dengan penjelasan Kemutlakan WUJUD(ADA)nya, dimana Wujud adalah
sesuatu yang jelas keberadaannya dan Tunggal karena selain keberadaan adalah
ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain ADA maka itu adalah ketiadaan dan
itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan.
Manusia - yang terbatas-tidak
sempurna-tergantung - memerlukan sebuah sistem nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai
sandaran dan pedoman hidupnya. Sistem nilai tersebut harus berasal dari
ke-ADA-an (Zat Yang Mahasempurna) yang segala atributnya berbeda dengan mahluk.
Konsekuensi akan kebutuhan asasi manusia pada sosok Mahasempurna ini menegaskan
bahwa sesuatau itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-argumentasi
rasional, terbuka, dan tidak doktriner. Sehingga, semua lapisan intelektual
manusia tidak ada yang sanggup menolak eksistensi-Nya.
Sekalipun demikian,
kenyataan menunjukkan bahwa Sang Mahasempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga
kepercayaan (agama) di dunia ini dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk.
Simbol-simbol agama yang berbeda satu sama lain tersebut menyiratkan secara
tersurat beberapa kemungkinan: semua agama itu benar; semua agama itu salah;
atau, hanya ada satu agama yang benar.
Agama-agama yang berbeda
mustahil memiliki sosok Mahasempurna yang sama ,walau memiliki kesamaan
etimologis. Sebab,bila sosok tersebut sama, maka agama-agama itu
identik.Namun,kenyataan sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada
masing-masing agama. Demikian pula, menilai semua agama itu salah adalah
mustahil, sebab bertentangan dengan prinsip kebergantungan manusia pada sesuatu
yang mahasempurna (Al-Haqq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu
agama saja yang benar. Dengan argumentasi diatas, manusia diantarkan pada
konsekwensi memilih dan mengikuti agama yang telah terbukti secara
argumentatif.
Diantara berbagai dalil
yang dapat diajukan, membicarakan keberadaan Tuhan adalah hal yang paling
prinsipil. Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang lainnya di tentukan
oleh sosok “ Tuhan “ tersebut. yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan ( pencipta / khaliq ). Bertolak belakang
dengan ciri-ciri khas manusia ( Yang diciptakan / makhluq ). Bila
manusia adalah maujud tidak sempurna, bermateri, tersusun, terbatas, terindera,
dan bergantung, maka tuhan adalah zat yang mahasempurna, immateri, tidak
tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian, tidak terindera secara material,
dan tunggal (Esa/Ahad).
Dengan demikian
diketahuilah bahwa manusia dapat mengetahui ciri-ciri umum Tuhan, namun
mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat menjangkau
zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan Rasionya (reason). Segala
sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia menyebut “Dia
Mahabesar “. Sesungguhnya Ia lebih besar dari seluruh konsepsi manusia tentang
kebesaran-Nya. Berdasarkan hal tersebut, potensialitas akal ( Intelect )
manusia dalam mengungkap hakikat zat-Nya
menyiratkan bahwa pada dasarnya seluruh makhluk diciptakan oleh-Nya
sebagai manifestasi diri-Nya (inna
lillahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un) sebagai realisasi kerinduan manusia akan
keabadian kesempurnaaan, kebahagiaan mutlak.
Keinginan untuk
merefleksikan ungkapan terima kasih dan beribadah kepada Tuhan Yang Mahaesa
menimbulkan kesadaran bahwa Ia Yang Mahaadil mesti membimbing umat manusia
tentang cara yang benar dan pasti dalam berhubungan dengan-Nya. Pembimbing
Tuhan kepada setiap mahluk berjalan sesuai dengan kadar potensialitasnya dalam
suatu cara perwujudan yang suprarasional (wahyu) diberikan khusus kepada
hamba-hamba-Nya yang memiliki ketinggian spritual.
Relasi konseptual
tentang ke-Mahabijaksana-an Tuhan untuk membimbing makhluk secara terus menerus
dan kebutuhan abadi makhluk akan bimbingan memestikan kehadiran sosok
pembimbing yang membawa risalah-Nya (rasul), yang merupakan hak prerogatif-Nya.
Rasul adalah cerminan Tuhan di dunia. Kepatuhan dan kecintaan makhluk kepada
mereka adalah niscaya. Pengingkaran kepada mereka identik dengan pengingkaran
kepada Tuhan.
Bukti kebenaran rasul
untuk manusia ditunjukkan pula oleh kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar
biasa (mu’jizat bagi orang-orang awwam)
maupun bukti-bukti rasional(mu’jizat bagi para intelektual) yang mustahil dapat
dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari. Pemberian tanda istimewa kepada
rasul akan semakin menambah keimanan seseorang. Mu’jizat juga sebagai bukti
tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada Tuhan dan pesuruh-Nya,
kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang luar biasa.
Kepatuhan dan keyakinan
manusia kepada rasul melahirkan sikap percaya terhadap apa pun yang dikatakan
dan diperintahkannya. Keyakinan tentang kitab suci (bacaan atau kumpulan firman
Tuhan, disebut Al-quran) yang dibawanya adalah konsekuensi lanjutan. Di dalam
kitab suci terdapat keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari
alam sekitar dan manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat
diterima oleh pandangan saintifik dan empiris manusia.
Konsepsi fitrah dan
‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan) diatas ternyata selaras dengan konsep
teoritis tentang Tuhan dalam ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul Tuhan
yang disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat persaksian/keimanan
(syahadatan) bahwa tidak ada (la)
Tuhan (ilah) yang benar kecuali (illa) Tuhan yang merupakan kebenaran
Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah). Ia (Muhammad) juga menerangkan bahwa
dialah rasul Allah (rasulullah). Menurut agama yang mengajarkan ketundukan dan
kepatuhan pada kebenaran (Islam) pada
ummatnya ini (muslim). Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan
berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dan lain-lain
dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di dalam Kitab suci maupun
di alam ini.
Konsukuensi lanjut
setelah manusia melakukan pencarian ketuhanan dan kerasulan adalah kecendrungan
fitrah dan kesadaran rasionalnya untuk meraih kebahagiaan. Keabadian, dan
kesempurnaan. ketidak mungkinan mewujudkan keinginan-keinginan ideal tersebut
didalam kehidupan dunia yang bersifat temporal ini melahirkan konsep tentang
keberadaan hari akhirat –yang sebelumnya dimulai dengan terjadinya kehancuran
alam secara besar-besaran (qiyamah/
kiamat/ hari agama/ yaum al-din)–
sebagai konsekuensi logis keadilan Tuhan. Kiamat merupakan permulaan
bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi. Disana tidak
ada lagi kehidupan historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat yang
menimbulkan ganjaran dosa/pahala.
Kehidupan akhirat
merupakan refleksi perbuatan berlandaskan iman, ilmu, dan amal selama di dunia.
Dengan kata lain, ganjaran di akhirat adalah kondisi objektif dari relasi
manusia terhadap Tuhan dan alam.¯
|
Hakekat Penciptaan dan Ekskatologi (Ma’ad)
Salah satu prinsip dasar
pandangan dunia yang merupakan pondasi penting dari keimanan Islam adalah
kepercayaan akan adanya kebangkitan dihari akhirat (kehidupan sesudah mati). Beriman
kepadanya karena merupakan suatu persyaratan hakiki untuk dapat disebut muslim.
Mengingkari kepercayaan ini dapat dipandang sebagai bukan muslim.
Sebelum masuk ke bahasan
tentang kehidupan sesudah mati maka masalah tujuan dari penciptaan harus terlebih
dahulu kita selesaikan, apakah yang memiliki tujuan dalam penciptaan itu Tuhan
ataukah Makhlukh? Dan kemanakah tujuannya?.
Untuk menjawab
pertanyaan – pertanyaan tersebut haruslah bersandar pada landasan-landasan
metafisika Islam sehingga konsekwensi-konsekwensi yang dilahirkan dari pilihan
jawaban kita akan dapat terselesaikan dengan tanpa keraguan. Jawaban ini juga
yang akan menjelaskan kepada kita bahwa Tujuan dari seluruh ciptaan adalah
bergerak menuju sesuatu yang sempurna dan Kesempurnaan Tertinggi adalah Tuhan
maka Dia lah yang menjadi tujuan dari seluruh gerak ciptaan.
Bahasan tujuan
penciptaan itulah yang akan menjadi awal untuk selanjutnya kita masuk dalam
pembahasan kehidupan sesudah mati (Eskatologi).
Asal dan sumber dari
kepercayaan tentang adanya hari akhirat ini mestilah dibuktikan melalui
argumen-argumen filosofis sehingga tidak ada sedikitpun alasan yang dapat
dikemukakan (oleh mereka yang belum mempercayai wahyu Ilahi) untuk
meragukannya. Kesungguhan beragama terpacu dengan sendirinya bila kesadaran
akan adanya hari akhirat (kehidupan kekal) sebagai sesuatu yang mutlak atau
pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan rasul kepercayaan kepada Ekskatologi
(Ma’ad) merupakan prinsip kedua setelah Tauhid.
Tema-tema yang
membicarakan masalah kehidupan akhirat ini atau kehidupan sesudah mati dari
segi pandangan islam berkenaan dengan maut, kehidupan sesudah mati, alam
barzakh, hari pengadilan besar, hubungan antara dunia sekarang dan dunia akan
datang, manifestasi dan kekekalan perbuatan manusia serta ganjaran-ganjarannya,
kesamaan dan perbedaan anatara kehidupan dunia sekarang dan didunia akan
datang, argumen-argumen al-Qur’an dan bukti-bukti tentang dunia akan datang,
keadilan tuhan, kebijaksanaan tuhan.
Sepanjang kehidupan baik
didunia ini maupun diakhirat, kebahagiaan kita sangat tergantung pada
keimanannya pada hari tersebut. Karena ia mengingatkan manusia akan
akibat-akibat dari tindakan-tindakannya. Dengan cara ini manusia menyadari
bahwa perbuatan-perbuatan, perilaku, pemikiran-pemikiran, perkataan dan akhlak
manusia mulai dari yang paling besar hingga kepada yang paling kecil, mempunyai
awal dan akhir, sebagaimana mahluk manusia itu sendiri.
Tetapi manusia hendaknya
tidak berfikir bahwa semuanya itu berakhir pada masa kehidupan dunia ini atau
periode ini saja. Sebab segalanya itu tetap ada dan akan dimintai pertanggung
jawaban pada hari periode kedua.
Kebahagiaan manusia pada
hari itu bergantung pada kepercayaan pada hari atau periode kedua tersebut.
Karena pada hari kedua (periode kedua tersebut) manusia akan diganjar atau
dihukum sesuai perbuatan-perbuatannya. Itulah sebabnya maka menurut islam
beriman kepada hari kebangkitan dipandang sebagai tuntutan yang hakiki bagi
kebahagiaan manusia. ¯
|
Dasar – Dasar
Kemanusiaan
Satu hal yang mesti
dilakukan sebelum kita membicarakan hal-hal lain dari manusia adalah sebuah
pertanyaan filosofis yang senantiasa hadir pada setiap manusia itu sendiri,
yakni apa sesungguhnya manusia itu? Dari segi aspek apakah manusia itu mulia
atau terhina? Dan apa tolak ukurnya? Tentu manusia bukanlah makhluk unik dan
sulit untuk dipahami bila yang ingin dibicarakan berkenaan dengan aspek
basyariah (fisiologis)nya. Karena cukup dengan menpelajari anatomi tubuhnya
kita dapat mengetahui bentuk atau struktur terdalamnya. Tetapi manusia selain
merupakan makhluk basyariah (dimensi fisiologis) dan Annaas (dimensi
sosiologis) ia juga memiliki aspek insan (dimensi psikologis) sebuah dimensi
lain dari diri manusia yang paling sublim serta memiliki kecenderungan yang
paling kompleks. Dimensi yang disebut terakhir ini bersifat spritual dan
intelektual dan tidak bersifat material sebagaimana merupakan kecenderungan
aspek basyarnya.
Dari aspek inilah nilai
dan derajat manusia ditentukan dengan kata lain manusia dinilai dan dipandang
mulia atau hina tidak berdasarkan aspek basyar (fisiologis). Sebagai contoh
cacat fisik tidaklah dapat dijadikan tolak ukur apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari aspek
insanlah seperti pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami
sebagai makhluk mulia atau hina.
Dalam beberapa
kebudayaan dan agama manusia dipandang sebagai makhluk mulia dengan tolak
ukurnya bahwa manusia merupakan pusat tata surya. Pandangan ini didasarkan pada
pandangan Plotimius bahwa bumi merupakan pusat seluruh tata surya.seluruh
benda-benda langit ‘berhikmat’ bergerak mengitari bumi. Mengapa demikian?
Karena di situ makhluk mulia bernama manusia bercokol. Jadi pandangan ini
menjadikan kitaran benda-benda langit mengelilingi bumi sebagai tolak ukur
kemulian manusia. Namun seiring dengan kemajuan sains pandangan ini kemudian
ditinggalkan dengan tidak menyisakan nilai mulia pada manusia. Para ahli
astronomi justru membuktikan hal sebaliknya bahwa bumi bukanlah pusat tata surya tetapi
matahari.
Manusia tidak lagi
dipandang sebagai makhluk mulia bahkan dianggap tak ada bedanya dengan binatang
adapun geraknya tak ada bedanya dengan mesin yang bergerak secara mekanistis.
Bahkan lebih dari itu dianggap tak ada bedanya dengan materi, ada pun jiwa
bagaikan energi yang di keluarkan oleh batu bara. Karena itu wajar bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tak
lagi dihargai. Maka datanglah kaum humanisme berupaya mengangkat harkat
manusia, dengan memandang bahwa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan
ilmiah dan kebebasan merupakan hal esensial yang membedakan manusia dengan
selainnya.
Tetapi bila itu tolak
ukurnya, lantas haruskah orang seperti Fira’un atau Jengis Khan yang dapat
melakukan apa saja terhadap bangsa-bangsa yang dijajahnya dipandang mulia? Jika
berilmu pengetahuan merupakan tolak
ukurnya. Lantas, apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein yang
paling berilmu tinggi abad 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari
seorang Paulus Yohanes paus II, ibu Tereisa atau Mahadma Ghandi bagi ummatnya
masing-masing? Sungguh semua itu termasuk ilmu pengetahuan -sepanjang peradaban
kemanusiaan manusia- tidak mampu mengubah dan memperbaiki watak jahat manusia untuk kemudian
mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa sesunguhnya tolak ukur kemanusian itu?
Sungguh dari seluruh bentuk-bentuk konsepsi tentang manusia yang ada di muka
bumi tak satu pun yang dapat menandingi paradigma (tolak ukur)nya serta tidak
ada yang lebih representatif dalam memupuk psikologisnya kearah yang lebih
mulia dari apa yang ditawarkan Islam. Dalam konsepsi Islam Tuhan (Allah)
dipandang sebagai sumber segala kesempurnaan dan kemulian. Tempat bergantung
(tolak ukur) segala sesuatu. Karena itu pula sebagaimana diketahui dalam konsepsi Islam, manusia ideal (insan kamil) dipandang merupakan
manifestasi Tuhan termulia di muka bumi dan karenanya ditugaskan sebagai wakil
Tuhan yang dikenal sebagai khalifah/nabi atau rosul (Qs 2 : 30). Karena itu,
ciri-ciri kemulian Tuhan tergambar/termanifestasikan pada dirinya (Qs 33 : 21)
sebagai contoh real yang terbaik (uswatun
hasanah) dari “gambaran/cerminan” Tuhan di muka bumi (Qs 68 : 4). Dengan
kata lain bahwa karena Nabi merupakan representasi (contoh) Tuhan di muka bumi
bagi manusia dengan demikian nabi/rosul/khalifah sekaligus merupakan
representasi yakni insan kamil (manusia
sempurna) dari seluruh kualitas kemanusiaan manusia. Tetapi walaupun manusia
dipandang sedemikian rupa dengan nabi sebagai contohnya, pada saat yang sama,
dalam konsepsi Islam manusia dapat saja jatuh wujud kemulian menjadi sama
bahkan lebih rendah dari binatang.
Dengan demikian
keidentikan kepadanya (khalifah/nabi/rasul) merupakan tolak ukur kemulian
kemanusiaan manusia dan sebaliknya berkontradiksi dengannya merupakan ukuran
kebejatan dan dianggap sebagai syaitan (QS. 6 :112).¯
|
Sebagai mahluk Tuhan
yang ditetapkan sebagai wakil Tuhan (Quran S. 2 : 30) manusia berbeda dengan
batu, tumbuhan maupun binatang. Batu ketika menggelinding dari sebuah
ketinggian bergerak berdasarkan tarikan gravitasi bumi tanpa ikhtiar sedikitpun
begitu pula halnya tumbuhan yang tumbuh hanya dibawah kondisi tertetu atau
sebagai mana binatang yang bertindak berdasarkan naluri alamiahnya. Ketiga mahluk-mahluk
ini bergerak atau bertindak tidak berdasarkan ikhtiari.
Namum bagi manusia, ia
merupakan mahluk yang senantiasa diperhadapkan pada berbagai pilihan – pilihan,
dan hanya dengan adanya sintesa antara ilmu dan kehendak yang berasal dari
tuhan ia dapat berikhtiar (memilih) yang terbaik diantara pilihan – pilihan
tersebut. Tanpa ilmu tentang hal – hal ideal ataupun keharusan – keharusan
universal maka meniscayakan ketiadaan ikhtiar dan begitupula ketiadaan kehendak
atau keinginan maka iapun mungkin memilih, orang gila (tidak berilmu) dan
pingsan (takberkehendak) adalah bukti nyata ketiadaan ikhtiar. Sementara,
ketiadaan ikhtiar bukti ketiadaan kebebasan dan itu memustahilkan terwujudnya
kemerdekaan. Jadi ia merupakan mahluk berikhtiar yang hanya dapat bermakna bila
berhadapan diantara keharusan – keharusan universal (takdir).
Keharusan – keharusan
universal atau yang biasa disebut sebagai takdir takwini ataupun takdir tasri’i
baik yang bersifat defenitif (Dzati) maupun yang tidak bersifat defenitif (Sifati)
bukanlah berarti bahwa manusia sesungguhnya hanya sebuah robot yang bergerak
berdasarkan skenario yang telah dibuat Tuhan, tetapi hendaklah dipahami bahwa
takdir tidak lain sebagai sebuah prinsip akan terbinanya sistem kausalitas umum
(bahwa akibat mesti berasal dari sebab – sebab khususnya, dimana rentetan
kausalitas tersebut berakhir pada sebab dari segala sebab yakni tuhan) atas
dasar pengetahuan dan kehendak ilahi yang Maha Bijak. Takdir Takwini (Ketetapan
penciptaan) tiada lain merupakan prinsip kemestiaan yang mengatasi sistem
penciptaan alam dan takdir tasyrii (Ketetapan Syariaat) merupakan prinsip
kemestiaan yang mengatur sistem gerak individu maupun masyarakat dari segi
sosiologis dan spritual.
Memahami konsep takdir
sebagai sebuah skenario yang telah ditetapkan oleh tuhan meniscayakan
ketiadaaan keadilan tuhan dan konsep pertanggungjawaban. Sebaliknya bila takdir
tidaklah dipahami sebagaimana yang telah didefenisikan diatas (yakni takdir
takwini sebagai sebuah sistem yang mengatur proses penciptaan dan takdir
tasyri’i sebagai ketapan yang mengatur kehidupan etik, sosial dan spritual
individu dan masyarakat). Maka itu berarti bahwa pada proses kejadian fenomena
alam, panas dapat membuat air menjadi beku dan sekaligus mendidih. Berbuat baik
akan mendapat surga dan sekaligus neraka, atau pujian sekaligus cacian. Bila
demikian adanya maka yang terjadi adalah disatu sisi akan terjadi kehancuran
pada alam, individu dan masyarakat, disisi lain memustahilkan adanya
pengetahuan pasti tentang mengininkan mendidih atau beku, surga atau neraka dan
karenanya pula meniscayakan mustahilnya ikhtiar.
Artinya ikhtiar itu
menjadi berarti hanya bila pada realitas terdapat hukum – hukum yang pasti
(takdir) atau dengan kata lain ikhtiar pada awalnya berupa potensial dan ia
menjadi aktual bila terdapat adanya dan diketahuinya takdir tersebut. Karena
itu pula dapat dikatakan tanpa takdir tidak ada ikhtiar.
Sebaliknya ketiadaan
potensi ikhtiar pada manusia meniscayakan takdir menjadi tidak
bermakna/berlaku. Bagi orang-orang gila dan yang belum baligh (bayi) tidak
dapat memanfaatkan hukum-hukum penciptaan untuk membuat suatu teknologi apapun.
Bagi mereka hukum-hukum syariat tak diberlakukan. Dengan demikian takdir ilahi
itu sendiri mengharuskan adanya iktiar bagi manusia agar dengan begitu
takdir-takdir pada alam dapat dipergunakan, dimanfaatkan atau secara umum dapat
dikatakan bahwa keadilan Ilahi sebagai keharusan universal itu sendiri
meniscayakan adanya ikhtiar dan takdir. Tanpa ikhtiar maka takdirpun tidak
bermanfaat dan tidak berlaku, sebaliknya tanpa takdir meniscayakan ketiadaan
ikhtiar pada manusia, tiada ikhtiar meniscayakan ketiadaan kebebasan dan
ketiadaan kebebasan memustahilkan terwujudnya kemerdekaan.
Kebebasan dan
kemerdekaan tidaklah bermakna sama. Kemerdekaan tidak dipredikatkan kepada
binatang kecuali pada manusia tetapi sebaliknya manusia dan binatang dapat
dipredikatkan bebas atau mendapatkan kebebasan. Kebebasan pada manusia mesti
bukanlah sebagai tujuan akhir bagi manusia. Sebab bila kebebasan merupakan
sebagai tujuan akhir maka kebebasan menjadi deterministik itu sendiri, dalam
arti bahwa ia tidak lagi berbeda dengan sebuah ranting ditengah lautan yang
bergerak kekiri dan kekanan dikarenakan arus dan bukan berdasarkan pilihannya.
Kebebasan hanya merupakan syarat (mesti) awal dalam menggapai cita-cita ideal
(Kesempurnaan Tuhan) sebagai tujuan akhir dan inilah yang dimaksud dengan
kemerdekaan.
Kebebasan individu bukan
berarti kebebasan mutlak yang mana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan
orang atau individu yang lain. Sebab defenisi kebebasan itu tersebut adalah
sistem etik yang hanya menguntungkan orang – orang kuat dan mendeskreditkan
orang-orang lemah. Ini karena bagi orang kuat kebebasannya itu sendiri telah
dapat membungkam orang-orang lemah, dengan kata lain eksisten orang-orang lemah
tidak memiliki daya untuk membatasi kebebasan orang kuat. Sistem ini hanya
berlaku bagi individu-individu yang sama-sama memiliki kekuatan. Atau kebebasan
kita dibatasi oleh kebebasan orang lain karena kebebasan orang lain tersebut
lebih kuat.
Sesungguhnya kebebasan
individu tidaklah demikian. Kebebasan individu berarti bahwa secara sosial
dalam interaksinya dengan orang lain ia tidak berada pada posisi tertindas dan
secera spiritual ia tidak berada dalam posisi menindas. Kebebasan bukan berarti
memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan dalam melakukan apa saja tetapi dalam arti
kemampuan untuk tidak memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan (menahan diri) untuk
membalas menindas ketika ia berada pada posisi memiliki kesempatan untuk itu,
dan ini adalah satu pengertian kemerdekaan
manusia dan keharusan universal. ¯
|
Individu dan
Masyarakat
Salah satu sifat khas
manusia sebagai makhluk dan karenanya ia berbeda dengan binatang adalah bahwa
ia merupakan makhluk yang diciptakan selain sebagai makluk berjiwa individual,
bermasyarakat merupakan kecenderungan alamiah dari jiwanya yang paling sublim.
Kedua aspek ini mesti dipahami dan di letakkan pada porsinya masing-masing
secara terkait. Sebab yang pertama
melahirkan perbedaan dan yang kedua melahirkan kesatuan. Karena itu
mencabut salah satunya dari manusia itu berarti membunuh kemanusiaananya.
Dengan kata lain bahwa perbedaan-perbedaan (bukan pembedaan-pembedaan) yang
terjadi di antara setiap individu-individu (sebagai identitas dari jiwa
individual) merupakan prinsip kemestian bagi terbentuknya masyarakat dan
dinamikanya. Sebab bila sebuah masyarakat, individu-individu haruslah memiliki
kesamaan, maka ini berarti dinamisasi, dalam arti, saling membutuhkan pastilah
tak terjadi dan karenanya makna masyarakat menjadi kehilangan konsep. Di sisi
lain dengan adanya perbedaan-perbedaan di antara para individu meniscayakan
adanya saling membutuhkan, memberi dan kenal-mengenal dan karena itu konsep
kemanusiaan memiliki makna.
Di sisi lain
kecenderungan manusia untuk hidup bermasyarakat merupakan kecenderungan yang
bersifat fitri. Ia tidak bedanya hubungan antara seorang laki-laki dan
perempuan yang berkeinginan secara fitri untuk membentuk sebuah keluarga. Jadi
Ia membentuk masyarakat karena adanya hubungan individu-individu yang terkait
secara fitrah dan alamiah untuk membentuk sebuah komunitas besar. Bukan
terbentuk berdasarkan sebuah keterpaksaan, sebagimana beberapa individu
berkumpul dikarenakan adanya serangan dari luar. Bukan juga bedasarkan proses
kesadaran sebagai langka terbaik dalam memperlancarkan keinginan bersama,
sebagaimana sejumlah individu berkumpul dan sepakat bekerja sama sebagai langka
terbaik dalam mencapai tujuannya masing-masing. Karena itu masyarakat
didefenisikan sebagai adanya kumpulan-kumpulan dari beberapa individu-individu
secara fitri maupun suka dan duka dalam mencapai tujuan dan cita-cita bersama
adalah membetuk apa yang kita sebut sebagai
masyarakat. Kumpulan dari sejumlah individu adalah “badan” masyarakat
ada pun kesepakatan atau tidak dalam mencapai cita-cita dan tujuan idealnya
adalah merupakan “jiwa” masyarakatnya. Karena itu selain bumi (daerah/tempat
tinggal) dan sistem sosial (ikatan psikologis antara individu-individu), individu
merupakan salah satu unsur terbentuknya sebuah masyarakat. Tanpa manusia
(individu) maka masyarakat pun tidak ada
Masyarakat itu sendiri
merupakan senyawa sejati, sebagaiman senyawa alamiah. Yang disentesiskan di
sini adalah jiwa, pikiran, cita-cita serta hasrat. Jadi yang bersintesis adalah
bersifat kebudayaan. Jadi, individu dan masyarakat memiliki eksistensi
(kemerdekaan) masing-masing dan memiliki kemampuan mempengaruhi yang lain.
Bukan kefisikan. Walaupun begitu eksistensi individu dalam kaitannya terhadap
masyarakat mendahului eksistensi
masyarakat. Memandang bahwa eksistensi masyarakat mendahului individu berati
kebebasan dan kemanusiaannya telah dicabut dari manusia (individu) itu sendiri.
Walaupun manusia
memiliki kualitas-kualitas kesucian, potensi tersebut dapat saja tidak
teraktual secara sempurna dikarenakan adanya kekuatan lain dalam diri manusia
berupa hawa nafsu yang dapat saja merugikan orang lain dan diri sendiri. Sebab
hawa nafsu ini mulai teraktual di kala interaksi antara individu dengan
individu lain dalam kaitannya dengan bumi (sumber harta benda). Bahkan
keserakahan ini dapat saja berkembang dalam bentuk yang lebih besar,
sebagaimana sebuah bangsa menjajah bangsa lain. Fenomena ini dapat mengancam
kehidupan manusia dan kelestarian alam. Dengan demikian, pertanggung-jawaban
ini bagi setiap individu, selain bersifat individual juga bersifat kolektif.
Ini karena, pertanggung-jawaban individual terjadi ketika sebuah perbuatan
memiliki dua dimensi, yaitu: si pelaku (sebab
aktif) dan sasaran yang disiapkan oleh pelaku (sebab akhir). Apabila dalam perbuatan tersebut terdapat dimensi
ketiga, yaitu sarana atau peluang yang berikan untuk terjadinya perbuatan
tersebut dan lingkup pengaruhnya (sebab
material), maka tindakan tersebut menjadi tindakan kolektif. Jadi
Masyarakat adalah pihak yang memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan
membentuk sebab material. Ini berarti, individu memiliki andil besar dalam
mengubah wajah bumi atau mengarahkan perjalanan sebuah masyarakat kearah yang sempurna
atau kehancuran.
Tidak ada jalan lain
bahwa untuk menghadapi ancaman-ancaman ini, manusia memerlukan adanya sebuah
sistem sosial yang adil yang memiliki nilai sakralitas dan kesucian dan
berdasarkan tauhid (Ketuhanan Yang Maha
Esa). Mengajarkan sebuah pandangan dunia bahwa segala sesuatu milik Tuhan.
Dihadapan Tuhan tidak ada kepemilikan manusia, kecuali apa yang dititipkan dan
diamanahkan kepadanya untuk mengatur dan mendistribusikan secara adil.
Kesadaran akan sakralitas dan kesucian sistem tersebut memberikan implikasi
kehambaan terhadap Tuhan. Berdasarkan kesadaran dan pertimbangan seperti itu
maka interaksi antara individu dengan individu lainnya dalam hubungannya
terhadap alam akan berubah dari watak hubungan antara tuan/raja dan budak
menjadi hubungan antara hamba Tuhan dengan hamba Tuhan yang lain dengan
mengambil tugas dan peran masing-masing
berdasarkan kapasitas-kapasitas yang diberikan dalam menjaga, mengurus,
mengembangkan, mengelolah, mendistribusikan dan lain-lain. Karena itu berdasarkan
fitrah/ruh Allah seorang manusia (individu)
diciptakan dan ditugaskan sebagai khalifah/nabi/rosul (wakil/ utusan Tuhan) oleh Allah di muka bumi (Qs 2 : 30) untuk
memakmurkan bumi dan membangun dan masyarakatnya untuk mewujudkan sistem
sosial.¯
|
Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
Keadilan menjadi sebuah
konsep abstrak yang sering diartikan secara berbeda oleh setiap orang utamnya
mereka – mereka yang pernah mengalami suatu ketidakadilan dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal ini menuntut secara tegas perlu dilakukan redefenisi
terhadap apa yang dimaksud dengan keadilan.
Bila keadilan diartikan
sebagai tercipta suatu keseimbangan dan persamaan yang proporsional maka
pemecahan permasalahan keadilan sosial dan ekonomi hanya dapat teratasi dengan
menemukan jawaban terhadap sebab – sebab terjadinya ketidak adilan sosial dan
ekonomi serta bagaimana agar dalam distribusi kekayaan dapat terbagi secara
adil sehingga terhindar dari terjadinya diskriminasi dan pengutuban, atau kelas
dalam masyarakat.
Jelas terlihat dari
problem yang dihadapi bahwa kasus keadilan sosial dan ekonomi bukanlah
merupakan wilayah garapan ilmu ilmiah. Hal ini karena masalah keadilan bukanlah
fenomena empiris yang dapat diukur secara kuantitas. Namun ia merupakan isu
abstrak yang berkenaan dengan aspek kebijakan–kebijakan praksis karena itu ia
merupakan garapan filosofis dan bersifat ideologis. Itulah sebabnya mengapa
dalam menjawab masalah diatas setiap orang atau kelompok memiliki jawaban dan
konsep yang berbeda sesuai dengan ideologi dan kandungan batinnya.
Sesuai dengan konsepnya
tentang manusia berkenaan dengan karakter dasar dan tujuan akhir manusia yaitu
bahwa manusia pada dasarnya bersifat baik dan lemah, kapitalisme cenderung
meyakini bahwa penyebab terjadinya diskrimatif serta tidak terjadinya
distribusi kekayaan secara adil dikarenakan dipasungnya kebebasan individu oleh
baik masyarakat, pemerintah, individu lain disatu sisi dan di sisi lain
tiadanya aturan – aturan yang menjamin kepentingan-kepentingan individu.
Berdasarkan ini untuk menciptakan keadilan sosial maupun ekonomi hanya dengan
cara memberikan kebebasan secara mutlak (yakni kesempatan ekonomi) kepada
setiap individu dimana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang lain,
meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan perbedaan pendapatan dan
kekayaan individu (dengan asumsi bahwa
orang mengunakan kebebasannya secara sama dalam sistem kapitalis).
Sebaliknya bagi
sosialisme yang didasarkan pada konsepnya tentang manusia dan pandangan hidupnya
melihat bahwa penyebab terjadinya diskriminasi sosial dan ekonomi sehingga
terciptanya kelas – kelas dalam masyarakat dimana yang satu semakin miskin dan
yang lain semakin kaya dikarenakan adanya kekuatan yang menghambat proses
berubahnya dari kesadaran kepemilikan pribadi ke kepemilikan sosial / bersama.
Karena itu untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi maka tidak ada cara
lain kecuali diperlukan suatu sistem sosial yang berfungsi sebagai polisi atau
perawat dalam menghilangkan kepemilikan pribadi atas alat – alat produksi
ketempatnya yang sebenarnya yaitu kepemilikan bersama (seluruh anggota masyarakat harus memiliki pendapatan dan kekayaan yang
sama).yang dalam hal ini diwakili oleh negara dengan cara
menasionalisasikan alat – alat produksi tersebut.
Adapun menurut Islam
kepemilikan pribadi bukanlah penyebab terjadinya malapetaka kemanusiaan
sebagaimana yang disangka oleh kaum sosialis komunisme. Bahkan sebaliknya
kepemilikan pribadi yang semata-mata materealistik justru penyebab proses kehancuran
sistem kapitalis. Setiap konsep keadilan akan menemui jalan buntu jika ia tak
seiring dengan naluri dasar alamiah manusia yaitu kepentingan individu atau apa
yang sering disebut sebagai ego. Itu sebabnya mengapa ketika seluruh alat –
alat produksi telah dinasionalisasikan yang kemudian diamanahkan kepada negara
yang nota bene adalah terdiri dari individu – individu sebagai pengelolahnya
kemudian berubah menjadi kapitalisme atau borjuis – borjuis baru yang diktator
dan menganggap diri mereka tuan/ penguasa bagi unit – unit yang mereka pimpin.
Artinya adalah penghapusan kepemilikan pribadi tidak dapat mengubah mentalitas
manusia.
Bagi Islam satu –
satunya jalan yang dapat mengatasi masalah ketidak adilan adalah dengan
memberikan jaminan pendapatan tetap, dengan kemungkinan mendapatkan lebih
banyak serta mengubah konsepsi manusia tentang manusia dan pandangan hidupnya
dari semata – mata bersifat materialistik ke kesadaran teologis dan
ekskatologis, tanpa berupa mematikan naluri alamiahnya.
Adalah suatu kemustahilan
disatu sisi ketika kesadaran teologis dan ekskatologis telah dimusnahkan dari
pandangan dunia seseorang dan disisi lain dengan menghilangkan kepemilikan/
kepentingan pribadinya kemudian serta merta ia berubah dari individualis
menjadi seorang sosialis (bukan sosialisme).
Menurut Islam ego
(kepentingan pribadi) merupakan suatu kekuatan yang diletakkan oleh Allah dalam
diri manusia sebagai pendorong. Kekuatan ini dapat mendorong manusia sehingga
melakukan hal yang diskriminatif, serakah dan merusak tetapi ia juga dapat
mendorong manusia untuk mencapai kualitas spiritual yang paripurna (insan kamil). Karena itu Islam tidak
datang untuk membunuh ego dengan seluruh kepentingannya namun ia datang untuk
memupuk, membina dan mengarahkannya secara spiritual dengan suatu kesadaran
teologis (TAUHID) dan Ekskatologis (MAAD).
Bagi Islam penyebab
terjadinya ketidakadilan sosial dan ekonomi atau dengan kata lain penyebab
terjadinya kelas – kelas dalam masyarakat disebabkan oleh tidak adanya
kesadaran tauhid. Hal ini dapat dilihat ketika Qur’an menceritakan mental
Fir’aun yang sewenang – wenang sehingga disatu sisi sebagai penyebab terjadinya
kelas – kelas (penduduk pecah belah), (QS : 28 : 4) dengan menobatkan dirinya
menjadi Tuhan (QS. 28 : 38 – 39), karena itu untuk kepentingan mengatasi hai
ini Islam mengajarkan untuk merealisasikan suatu konsep yaitu sebagaimana
dikatakan dalam Al- Quran (Qs, 3 : 64)
Adapun di sisi lain penyebab terjadinya yang miskin semakin
miskin (ketidak adilan ekonomi)
karena tidak berjalannya sistem tauhid (pelaksanaan
syariat) karena itu kata Qur’an sekiranya mereka sungguh – sungguh
menjalankan (hukum) taurat, Injil, dan apa yang diturunkan kepada mereka dari
tuhan mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari langit atas mereka
dan dari bawah kaki mereka (QS. 5 : 66) atau sekiranya penduduk negeri – negeri
beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi (QS. 7 : 96) atau bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan
lurus diatas jalan itu (Agama Islam ; melarang praktek riba, serta tidak
menghilangkan konsep zakat, khumus, Jis’ah, sedekah, infak dll), niscaya benar
– benar kami akan memberikan muniman kepada mereka air yang segar (rezki yang
banyak, QS. 72 : 16).
Artinya menurut Islam bahwa
prinsip dari hubungan khusus antara bertindak sesuai dengan perintah – peritah
Tuhan di satu sisi dengan kemakmuran disisi lain atau dalam bahasa modernnya,
hubungan antara distribusi yang adil dengan peningkatan produksi, yakni bahwa
tidak akan terjadi kekurangan produksi dan kemiskinan bila distribusi yang adil
dilaksanakan. Dengan kata lain distribusi yang adil akan mendongkrak kekayaan
dan meningkatkan kemakmuran sebagai bukti berkat dari langit dan bumi telah
tercurahkan.
Tidak diragukan lagi dari
kajian yang konprehensif dan holistik dapat mengantar kita pada satu kebenaran
rasional ideologi (syariat) Islam
yang telah mengajarkan akan persaudaraan, keadilan dan kesamaan hak untuk
diamalkan oleh setiap kaum muslimin khususnya, sampai kepada sektor-sektor
produksi sosio-ekonomi dan pembagian kekayaan. Atau hukum-hukum yang lebih
bersifat spesifik menyangkut hal-hal yang memerlukan rincian, seperti
pemanfaatan lahan pertanian, penggalian mineral, sewa-menyewa, mudharabah,
bunga, zakat, khumus (yakni mengeluarkan
20-30% dari keuntungan bersih) dan pembelanjaan umum di bawah Bayt Al-mal.¯
|
Sains Islam
Sains dalam sejarah
perkembangan selalu dinaturalisasikan sebagai sebuah upaya pencocokan sains
asing terhadap nilai – nilai budaya, agama atau pandangan – pandangan tertentu
suatu masyarakat. Asimilasi dan
akulturasi inilah yang kemudian menjadi bentuk baru (khas) sebuah peradaban,
rasionalisme di yunani dan positivisme di Eropa adalah contoh – contahnya.
Naturalisasi terhadap
sains itu sendiri dilakukan sebab diakui bahwa sains memiliki kekuatan yang
ambigu, disatu sisi ia dapat mengembang suatu masyarakat karena kemampuannya
mengatasi masalah – masalah praktis dan prakmatis manusia, disisi lain ia juga
memiliki kemampuan untuk menghancurkan atau merombak nilai – nilai budaya,
agama maupun spiritualitas suatu masyarakat.
Positivisme misalnya
merupakan hasil sebuah naturalisasi sains didunia masyarakat eropa dan telah
dipandang sebagai kebenaran. Sains ini (positivisme) adalah sebuah sains yang
memiliki watak atau karakter yang bersifat materealistik yaitu sains yang
menolak hal – hal yang bersifat metafisis, spiritual maupun mistis, karenanya
dalam karakternya yang demikian sains ini dapat menghancurkan atau melunturkan
konsep – konsep teologi dan nilai – nilai keagamaan.
Sehingga bukanlah hal
yang berlebihan bila diperlukan suatu upaya serius oleh kaum pemikir muslim
untuk melakukan suatu islamisasi sains terhadap sains – sains modern (sains
positivisme) sebagai wujud dari naturalisasi sains didunia islam, sehingga
pengaruhnya yang negatif terhadap gagasan metafisis (Teologi dan Ekskatologi)
dan nilai – nilai agama islam dapat dihindari. Hasil dari upaya islamisasi
sains inilah apa yang kita sebut sains islam.
Islamisasi sains atau
sains islam dapat dimulai dengan menggagas untuk meletakkan dasar bagi landasan
epistimologi islam yaitu dengan membuat klasifikasi ilmu berdasarkan basis
ontologinya serta metodologinya yang sesuai dengan semangat (Spirit) islam itu
sendiri yakni teologi (Tauhid), Ekskatologi (Ma’ad), Kenabiaan.
Islamisasi sains dengan
pelabelan ayat – ayat Al-Qur’an atau hadits yang dipandang cocok dengan
penemuan sains mestilah dihindari. Hal ini karena kebenaran-kebenaran Qur’an
bersifat abadi dan universal, sementara kebenaran-kebenaran sains modern selain
bersifat temporer dan hanya benar dalam lingkup ruang dan waktu tertentu, sains
modern juga bersifat materealistik atau positivistik.
Pendekatan demikian akan
mengalami jalan buntu dengan berubahnya teori-teori lalu dengan ditemukannya
penemuan teori-teori baru. Dengan demikian ayat-ayat (tadi) yang dipandang
cocok dengan teori-teori lalu menjadi dipertanyakan.
Begitupula islamisasi
sains tidak dengan upaya mendengungkan ayat-ayat qur’an tentang kewajiban
berilmu pengetahuan ketelinga generasi muslim. Hal ini karena upaya tersebut
berkaitan dengan sumberdaya manusia muslim (SDM) tidak dengan sains islam.
Hendaknya pendekatan
yang mesti dilakukan adalah dengan membuat klasifikasi ilmu dengan menetapkan
status dan basis ontologinya sangatlah penting, sebab ia merupakan basis bagi
sebuah epistimologi. Perbedaan dalam menetapkan adanya status ontologis
meniscayakan perbedaan pada status epistimologinya berikut metodologinya.
Perbedaan ini dapat terlihat pada epistimologi modern dengan epistimologi yang
telah dicanangkan oleh para filosof muslim yang telah ditinggalkan oleh kaum
muslim itu sendiri.
Epistimologi barat
berbasis pada status ontologi materealistik dan menolak adanya realitas
(ontologi) metafisis. Epistimologi ini hanya memusatkan perhatiannya pada objek
fisik oleh Agueste Comte disebut
Positivistik.
Adapun sains islam
menetapkan bukan hanya berbasis kepada status ontologis alam materi
(objek-objek fisika) tetapi lebih dari itu ia menetapkan pula bahwa selain
status ontologi alam materi terdapat pula objek ontologi alam mitsal
(objek-objek matematika) dan objek ontologi alam akal (objek-objek metafisika).
Berdasarkan klasifikasi
sains seperti ini, sains islam menyodorkan beberapa metodologi ilmiahnya sesuai
dengan status ontologinya yaitu, intuisi dan penyatuan jiwa (metode kaum
irfan), untuk mengetahui objek-objek nonmateri murni atau objek-objek
metafisika dengan cara langsung. Deduksi rasional untuk mengetahui objek
metafisika secara tidak langsung maupun objek-objek matematika. Induksi,
Observasi dan eksperimen untuk mengetahui objek-objek fisika.
Sains metafisika
mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya bersifat nonmateri murni
serta tidak dipengaruhi oleh materi dan gerak. Seperti Teologi, Kosmologi,
Ekskatologi.
Sains matematika
mengkaji objek-objek atau wujud yang meskipun bersifat nonmaterial namun
berhubungan dengan materi dan gerak. Seperti aretimetika, geometri, optika,
perbintangan, musik, ilmu tentang gaya, dan keteknikan.
Sains fisika mengkaji
objek-objek atau wujud yang secara niscaya terkait dengan materi dan gerak.
Seperti unsur-unsur (atom-atom), mineral, tumbuh-tumbuhan, Binatang dan
manusia.
Dalam klasifikasi sains
islam kaarena status objek-objek metafisika merupakan realitas ontologis yang
berada dipuncak (yang paling tertinggi) yang sebab sebagai sebab bagi segala
sesuatu dibawahnya, dimana objek-objek fisika merupakan objek realitas terbawah
dan terendah dari hirarki objek ontologi maka secara berturut-turut sains
metafisika merupakan sains tertinggi dan sains fisika merupakan sains terendah
setelah sains matematika. ¯
RUJUKAN AL – QUR’AN
Bab II
Dasar – dasar Kepercayaan
1.
Al Qur’an S. Al Ikhlas (112) : 1 – 4
Artinya :
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah
Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada
beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun
yang setara dengan Dia".
2.
Al Qur’an S. Al Baqarah (2) : 163
Artinya :
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.
3.
Al Qura S. Al Qashash (28) : 88
Artinya :
“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain.
Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti
binasa, kecuali Allah. BagiNyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah
kamu dikembalikan”
4.
QS – Al Baqarah (2) : 255
Artinya :
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal
lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur.
Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa`at
di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka
dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah
melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan
Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha
Besar”.
5.
QS - Al Baqarah (2) : 163
Artinya :
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.
6.
Al Qur’an S. (21) : 108
Artinya : “Katakanlah: "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah:
"Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa, maka hendaklah kamu berserah
diri (kepada-Nya)".
7.
Al Qur’an S. Aal Mu’minuun (23) : 91 – 92
Artinya : “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak
ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing
tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari
tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa
yang mereka sifatkan itu, Yang mengetahui semua yang ghaib dan semua yang nampak,
maka Maha Tinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan.
8.
Al Qur’an S. Al Anbiyaa’ (21) : 22
Artinya : “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah,
tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai
`Arsy daripada apa yang mereka sifatkan”.
9.
Al Qur’an S. (16) : 51
Artinya : “Allah berfirman: "Janganlah kamu menyembah dua tuhan;
sesungguhnya Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu
takut".
Bab III
Eskatologi (Ma’ad)
1. Qur’an S. Al A’raf (7) : 187
Artinya :
“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?"
Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi
Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain
Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di
bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba".
Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya.
Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di
sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
2. Qur’an S. Al Baqarah (2) : 48
Artinya :
“Dan jagalah dirimu dari (`azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang
tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak
diterima syafa`at dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.
3. Qur’an S. Al Baqarah (2) : 85
Artinya :
“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan
daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka
dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai
tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang
bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar
terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari
kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah
dari apa yang kamu perbuat.
4. Qur’an S. Al Baqarah (2) : 165
Artinya :
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada
hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat
berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
5. Qur’an S Ali Imran (3) : 55
Artinya : “(Ingatlah),
ketika Allah berfirman: "Hai `Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu
kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari
orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas
orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah
kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu
berselisih padanya".
6. Qur’an S An Nisa (4) : 109
Artinya :
“Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela)
mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk
(membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang jadi pelindung mereka
(terhadap siksa Allah)?
7. Qur’an S Almaidah (5) : 14
Artinya : “Dan
di antara orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya kami ini orang-orang
Nasrani", ada yang telah Kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka
(sengaja) melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan
dengannya; maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai
hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang selalu
mereka kerjakan.
Bab IV
Manusia dan Nilai Kemanusiaan
1.
Q.S. Al – Baqarah (2) : 30
Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
2.
QS. Al – Ahzab (33) : 21
Artinya : “Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.”
3.
QS. Al – Qalam (68) :4
Artinya : “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
4.
QS. Al – An’am (6) : 112
Artinya : “Dan demikianlah Kami
jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis)
manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian
yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau
Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah
mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”
Bab V
Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan
Keniscayaan Universal (Taqdir Ilahi)
1.
QS – Al Maaidah (5) : 66
Artinya :
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al
Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan
mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka
ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh
kebanyakan mereka”.
2.
Al Quran S. Al Qamar (54) : 49-50
Artinya : “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan
mata”.
3.
Al Quran S. Ar Ra’d (13) : 11
Artinya : “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
4.
Al Quran S. Al Jaatsiyah (45) : 2-3
Artinya : “Kitab (ini) diturunkan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. Sesungguhnya pada langit
dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang
yang beriman”.
5.
Al Quran S. Al Hadiid (57) : 22
Artinya : “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.
6.
Al Quran S. Al An’aam (6) : 59
Artinya : “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada
yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan
dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya
(pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu
yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh)”.
7.
Al Quran S. At Thalaaq (65) : 3
Artinya : “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang
dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu’.
8.
Al Quran S. Al Hijr (15) : 21
Artinya : “Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah
khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang
tertentu”.
9.
Al Quran S. Ali Imran (3) : 154
Artinya : “Kemudian setelah kamu berduka-cita Allah menurunkan kepada
kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan daripada kamu, sedang
segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka
yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata:
"Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan
ini?" Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan
Allah". Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka
terangkan kepadamu; mereka berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang
sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh
(dikalahkan) di sini". Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu,
niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar
(juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk
menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam
hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati”.
10. Al Quran S. Al Qamar
(54) : 49
Artinya : “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”.
11. Al Quran S. Ibrahim (14)
: 4
Artinya : “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka
Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa
yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.
12.
Al Quran S. Ali Imran(3) : 26
Artinya : “Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau
berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan
dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki
dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
13. Al Quran S. Ar R’d (13)
: 11
Artinya : “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
14. Al Quran S. An Nahl (16)
: 112
Artinya : “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri
yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari
segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari ni`mat-ni`mat Allah; karena
itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan
apa yang selalu mereka perbuat”.
15. Al Quran S. Al Ankabuut
(29) : 40
Artinya : “Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya,
maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan
di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara
mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami
tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi
merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”.
16. Al Quran S. Fush Shilat
(41) : 46
Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka
(pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka
(dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya
hamba-hamba (Nya)”.
17. Al Quran S. Al Insaan
(76) : 3
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang
bersyukur dan ada pula yang kafir”.
18. Al Quran S. Al Kahfi
(18) : 29
Artinya : “Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi
orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang
mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat
istirahat yang paling jelek”.
19. Al Quran S. Ar Ruum (30)
: 41
Artinya : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
20. Al Quran S. Asy Syuura
(42) : 20
Artinya : “Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami
tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di
dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada
baginya suatu bahagianpun di akhirat”.
21. Al Quran S. Al Israa’
(17) : 18-20
Artinya : “Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka
Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang
Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya
dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan
akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah
mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik. Kepada
masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan
bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi”.
Bab VI
Individu dan Masyarakat
1.
Al Quran S. (2) : 30
Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
2.
Al Quran S. (17) : 71
Artinya : “(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat
dengan pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan
kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya
sedikitpun.
3.
Al Quran S. (19) : 20
Artinya : “Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak
laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan
(pula) seorang pezina!"
4.
Al Quran S. (15) : 28
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
5.
Al Quran S. (19) : 20
Artinya : “Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak
laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan
(pula) seorang pezina!"
6.
Al Quran S. (25) : 7
Artinya : “Dan mereka berkata: "Mengapa rasul ini memakan makanan dan
berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat
agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?,
7.
Al Quran S. (25) : 20
Artinya : “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka
sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan
sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan
adalah Tuhanmu Maha Melihat”.
8.
Al Quran S. (18) : 110
Artinya : “Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia
seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu
adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya
maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
9.
Al Quran S. (14) : 11
Artinya : “Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: "Kami tidak lain
hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa
yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami
mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya
kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.
10. Al Quran S. (33) : 72
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,
11. Al Quran S. (51) : 56
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.
12. Al Quran S. (76) : 1-2
Artinya : “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang
dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes
mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan),
karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat”.
13. Al Quran S. (29) : 49
Artinya : “Sebenarnya, Al Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam
dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat
Kami kecuali orang-orang yang zalim”.
14. Al Quran S. (58) : 11
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu,
maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
15. Al Quran S. (49) : 13
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
16. Al Quran S. (25) : 54
Artinya : “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia
jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha
Kuasa.
17. Al Quran S. (43) : 32
Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami
telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat,
agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat
Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
18. Al Quran S. (7) : 172
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab:
"Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya
kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan)",
19. Al Quran S. (38) : 72
Artinya : “Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan
kepadanya roh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadanya".
20. Al Quran S. (37) : 72
Artinya : “dan sesungguhnya telah Kami utus pemberi-pemberi peringatan
(rasul-rasul) di kalangan mereka.
21. Al Quran S. (9) : 112
Artinya : “Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat,
yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku`, yang sujud, yang menyuruh
berbuat ma`ruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum
Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mu'min itu.
22. Al Quran S. (7) : 29
Artinya : “Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan".
Dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat dan
sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta`atanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia
telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali
kepadaNya)".
23. Al Quran S. (17) : 13-14
Artinya : “Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya
(sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada
hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. "Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu
ini sebagai penghisab terhadapmu."
24. Al Quran S. (3) : 104
Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.
25. Al Quran S. (45) : 28-29
Artinya : “Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut.
Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu
kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan. (Allah berfirman):
"Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar.
Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan."
26. Al Quran S. (3) : 110
Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik.
27. Al Quran S. (2) : 46
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui
Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
28. Al Quran S. (40) : 17
Artinya : “Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang
diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat
cepat hisabnya.
29. Al Quran S. (3) : 86-88
Artinya : “Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah
mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad)
benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka?
Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. Mereka itu, balasannya ialah:
bahwasanya la`nat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) la`nat para
malaikat dan manusia seluruhnya, mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan
siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh”.
30. Al Quran S. (25) : 43
Artinya : “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?
31. Al Quran S. (45) : 23
Artinya : “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah
telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
32. Al Quran S. (96) : 6-7
Artinya : “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.
33. Al Quran S. (28) : 38
Artinya : “Dan berkata Fir`aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak
mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat,
kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat
Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk
orang-orang pendusta".
34. Al Quran S. (28) : 4
Artinya : “Sesungguhnya Fir`aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi
dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari
mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak
perempuan mereka. Sesungguhnya Fir`aun termasuk orang-orang yang berbuat
kerusakan.
35. Al Quran S. (34) : 31
Artinya : “Dan orang-orang kafir berkata: "Kami sekali-kali tidak akan
beriman kepada Al Qur'an ini dan tidak (pula) kepada Kitab yang
sebelumnya". Dan (alangkah hebatnya) kalau kamu lihat ketika orang-orang
yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebahagian dari mereka menghadapkan
perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata
kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "Kalau tidaklah karena kamu
tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman".
36. Al Quran S. (7) : 127
Artinya : “Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir`aun (kepada Fir`aun):
"Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri
ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?". Fir`aun menjawab:
"Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup
perempuan-perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas
mereka".
37. Al Quran S. (9) : 34
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari
orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang
dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan
Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya
pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih,
38. Al Quran S. 28 : 5
Artinya : “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang
tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan
menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi),
39. Al Quran S. (33) : 6-7
Artinya : “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari
diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang
yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di
dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin,
kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah
yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari
nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera
Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh,
40. Al Quran S. (4) : 97
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan
bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang
tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi
Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang
itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,
Bab VII
Keadilan Sosial & Ekonomi
1.
Al-Quran S. Ali Imran (3) : 64
Artinya :
“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain
Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah,
bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
2.
Al-Quran S. Qashash (28) : 4
Artinya :
“Sesungguhnya Fir`aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan
penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih
anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.
Sesungguhnya Fir`aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”.
3.
Al-Quran Qashash (28) : 38
Artinya :
“Dan berkata Fir`aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan
bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian
buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan
Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang
pendusta".
4.
Al-Quran S. Qashash (28) : 39
Artinya :
“Dan berlaku angkuhlah Fir`aun dan bala tentaranya di bumi (Mesir) tanpa alasan
yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada
Kami”.
5.
Al-Quran S. Al Maaidah (5) : 66
Artinya :
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al
Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan
mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka
ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh
kebanyakan mereka.
6.
Al-Quran Al-A’raaf (7) : 96
Artinya :
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.
7.
Al-Quran 7 : 96
Artinya :
“Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama
Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki
yang banyak).
8.
Al Quran S. Ali Imran (3) : 18
Artinya :
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
9.
Al Quran S. Al Hadid (57) : 25
Artinya :
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi
yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia,
(supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang
menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.
10. Al Quran S. Al Baqarah
(2) : 124
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa
kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia".
Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah
berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".
11. Al Quran S. Al Anbiyaa’
(21) : 47
Artinya : “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka
tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya
seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami
sebagai Pembuat perhitungan”.
12. Al Quran S. Al Baqarah
(2) : 282
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya,
maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang
itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak
mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika
tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi
kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.
13. Al Quran S. Al Maa-idah
(5) : 95
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang
buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan
sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan
buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu,
sebagai had-ya yang di bawa sampai ke Ka`bah, atau (dendanya) membayar kaffarat
dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan
yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya.
Allah telah mema`afkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali
mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai
(kekuasaan untuk) menyiksa”.
14. Al Quran S. Ath Thalaaq (65) : 2
Artinya : “Apabila mereka telah
mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah
mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah
diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan ke luar”
.
15. Al Quran S. At Taubah
(9) : 70
Artinya : “Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang
yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, `Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk
Madyan, dan (penduduk) negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada
mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata; maka Allah tidaklah sekali-kali
menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri:”.
16. Al Quran S. Ar Rahmaan
(55) : 7
Artinya : “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca
(keadilan)”.
17. Al Quran S. Al An’aam
(6) : 1
Artinya : “Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi,
dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan
(sesuatu) dengan Tuhan mereka”.
18. Al Quran S. As Sajdah (32) : 7
Artinya : “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
Yang memulai penciptaan manusia dari tanah”.
19. Al Quran S. Thaahaa (20)
: 42
Artinya : “Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan
janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku;
20. Al Quran S. Al Qamar
(54) : 49-50
Artinya : “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan
mata”.
21. Al Quran S. Ash
Syaaffaat (37) : 164
Artinya : “Tiada seorangpun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai
kedudukan yang tertentu”,
22. Al Quran S. As Sajdah
(32) : 5
Artinya : “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu
naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun
menurut perhitunganmu”.
23. Al Quran S. An Naazi’aat
(79) : 5
Artinya : “dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia)’.
24. Al Quran S. Al Insaan
(76) : 23
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur'an kepadamu (hai
Muhammad) dengan berangsur-angsur”.
25. Al Quran S. Ash
Syaaffaat (37) : 164
Artinya : “Tiada seorangpun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai
kedudukan yang tertentu”,
26. Al Quran S. Ar Ra’d (13)
: 11
Artinya : “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
27. Al Quran S. Al Israa’
(17) : 4-8
Artinya : “Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan
terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan
jalan (yang benar)”.
28. Al Quran S. Al Jaatsiyah
(45) : 2-3
Artinya : “Kitab (ini) diturunkan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. Sesungguhnya pada langit
dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang
yang beriman”.
29. Al Quran S. An Nahl (16)
: 118
Artinya : “Dan terhadap orang-orang Yahudi, Kami haramkan apa yang telah
Kami ceritakan dahulu kepadamu; dan Kami tiada menganiaya mereka, akan tetapi
merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”.
Bab VIII
Sains Islam
1. Qur’an S. Huud (11) : 14
Artinya : “Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu)
itu maka (katakanlah olehmu): "Ketahuilah, sesungguhnya Al Qur'an itu
diturunkan dengan ilmu Allah dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka
maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?"
2. Qur’an S. (2) : 145
Artinya :
“Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan),
mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat
mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang
lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu
kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang
zalim.
3. Qur’an S. (2) : 247
Artinya : “Nabi
mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat
Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah
kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang
diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?" (Nabi mereka) berkata:
"Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya
ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha
Mengetahui.
4. Qur’an S.(17) : 60
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Kami
wahyukan kepadamu: "Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia".
Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan
sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al
Qur'an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah
menambah besar kedurhakaan mereka.
5. Qur’an S. Al An’am : 108
Artinya :
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan.
Bab IX
Hakekat dan Hak-Hak Perempuan
1.
Al-Quran S. Ali-Imran (3) ; 39
Artinya :
“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri
melakukan shalat di mihrab (katanya): "Sesungguhnya Allah menggembirakan
kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang
datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang
Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh."
2.
Al-Quran S. An-Nisa (4); 1
Artinya :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
3.
Al-Quran S. Al-Lail (92); 1-4
Artinya :
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan.
4.
Al-Quran S. An-Nisa (4); 32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar