Jumat, 04 Mei 2012

DESENTRALISASI KABUPATEN MUAROBUNGO


Sasaran dari pelaksanaan desentralisasi adalah mendekatkan pemerintah dengan masyarakat, sehingga kebutuhan publik bisa dipahami oleh pemimpin. Setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah bisa memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan sebagai tujuan akhir.
Sejak  tanggal 1 Januari 2001 telah terjadi penataan ulang secara vertikal antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Dan penataan secara horisontal di tingkat pusat antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, maupun di tingkat daerah.[1] Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah  disebutkan  Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan  tugas pembantu, konsep desentralisasi ini secara utuh dan bulat diserahkan pusat kepada daerah otonom untuk memberikan kesempatan dan keleluasan agar mengelola maupun mengurusnya sesuai apa yang menjadi kebutuhan masyarakat agar berjalan diatas peranturan undang-undang.
Kabupaten Muarobungo adalah salah satu kabupaten/kota yang besar dan maju dalam pembangunan sejak pemekaran dari kabupaten Bungotebo, tidak menutup kemungkinan kabupaten baru terpisah dari Bungotebo ini, yang masih berumur lebih kurang 10 tahun dapat mengembangkan sayap untuk pembentukan daerah pemekaran.
Meskipun dalam ranah pelaksanaan banyak hal yang harus dipenuhi untuk pengembangan sayap itu, baik secara administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Provinsi Jambi  dahulu mempunyai lima kabupaten/kota yang sukar dengan perkembangan isue-isue kesejahteraan, dengan berjalannya sistem demokratis dan ditetapkan UU otonomi daerah sebagai landasan utama dalam pembangunan di setiap kabupaten/kota, yang hari ini sudah banyak memformulasikan dan membenahi sistem pemerintahan yang dijalankan, hal ini sudah terlihat dengan perkembangan daerah yang dahulu sarat dengan sentralisasi kini berubah desentralisasi.
Sepuluh tahun terakhir ini kabupaten Muarobungo banyak mengalami perubahan yang signifikan, baik dari segi pembangunan infrastruktur maupun dari pendidikan politik masyarakat. Dari segi infrastruktur sudah nampak dengan berbagai pengembangan fasilitas publik, semangat nasionalis kedaerahan orang nomor wahid di kabupaten Muarobungo mempunyai niat baik untuk mengembangkan daerah kelahirannya, dengan berbagai variasi perubahan yang dilakukannya membuat banyak kemajuan didapatkan oleh daerah perbatasan Sumbar-Jambi ini.
Begitu juga jika kita melihat dari bidang pendidikan politik yang berkembang saat kini, daerah yang besemboyan “langkah serentak selimbai berayun” ini mempunyai kedewasaan dalam kancah perpolitikan, dengan dibuktikan bermunculannya kandidat calon bupati yang notabine putra daerah bungo. Inilah saya memandang bahwa kabupaten Muarobungo mempunyai catatan baik dalam sejarah provinsi Jambi, karena mampu untuk memberdayakan potensi daerah yang baik untuk kemajuan dan kemakmuran rakyatnya.           
Dalam konsep desentralisasi penyerahan kekuasaan oleh pemerintah pusat ke daerah otonom dapat dibedakan menjadi empat pembangian wewenang adalah : [2]
1.      Desentralisasi politik, melimpahkan kepada daerah kewenangan yang lebih besar yang menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan.
2.      Desentralisasi administrasi, berupa redistribusi kewenangan, tanggungjawab dan sumber daya di antara berbagai tingkat pemerintahan. Kapasitas yang memadai disertai kelembagaan yang cukup baik di setiap tingkat merupakan syarat agar hal ini bisa efektif.
3.      Desentralisasi fiskal, menyangkut kewenangan menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi.
4.      Desentralisasi ekonomi, adalah tahapan berikut dari proses desentralisasi di Indonesia, daerah dituntut untuk lebih bertanggung jawab terhadap permasalahan ekonomi lokal sekaligus mengoptimalkan potensi ekonomi yang dimilikinya.
Desentralisasi fiskal di Indonesia ditandai dengan proses pengalihan sumber keuangan bagi daerah dalam jumlah yang sangat signifikan. Dibandingkan dengan era sebelum desentralisasi, transfer dari pusat kepada daerah dalam bentuk Dana Perimbangan, melonjak drastis, baik secara proporsi maupun jumlah absolut. Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) ini berkontribusi kepada lebih dari 85% rata-rata penerimaan kabupaten/kota, dan sekitar 70% rata-rata penerimaan daerah provinsi.
Ketika memasuki era desentralisasi, jumlah total dana APBD berbagai daerah melonjak menjadi lima sampai dengan 20 kali lipat dari APBD-nya di tahun-tahun terakhir Orde Baru. Penyebabnya adalah Dana Perimbangan yang sangat signifikan tersebut, dari tahun 1999 s.d 2006 Dana Alokasi Umum (DAU) mencapai lebih dari Rp 200 trilyun atau rata-rata kenaikan diatas 20% per-tahun.[3]
Prinsip dasar dari desentralisasi ekonomi adalah kemampuan daerah mengidentifikasi kebutuhan masyarakat serta kemampuan institusi daerah. Desentralisasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai persaingan ekonomi yang sehat antar daerah, tidak berarti menjadikan suatu daerah bergerak sendiri, tetapi memaksa daerah belajar mengukur kemampuannya. Untuk memperkuat skala ekonomi, daerah yang perekonomiannya kecil dapat bekerja sama dengan daerah lain. Inisiatif mendorong kerja sama antar kabupaten/kota yang bertetangga dapat dilakukan pemerintah provinsi, sebagaimana yang diamanahkan dalam pasal 195-197 UU No. 32 tahun 2004.
Secara eksplisit, maka manfaat dari kebijakan desentralisasi terhadap layanan publik adalah :
1.      Desentralisasi dapat mendorong partisipasi dari publik  yang difasilitasi dengan pengeluaran investasi pemerintah yang pro-rakyat.
2.      Desentralisasi dapat membantu pemerintah daerah memperbaiki dari pelaksanaan pelayanan publik untuk rakyat  dan pentargetan dari program transfer secara efisien.[4]
Oleh karena itu, desentralisasi sangat membutuhkan daerah-daerah yang mempunyai kemapanan dalam kemampuan untuk pengembangan daerah tertinggal, dalam konteks perkembangan isue paradigma pemekaran daerah kabupaten Muarobungo menjadi kota Muarobungo sangat dibutuhkan kejelian dalam penetapan keputusan, karena amanah dari UU otonomi daerah banyak hal yang harus dipersiapkan dan kemampuan daerah untuk mandiri. Jangan karena memikirkan “bank saku” para elite politik, dengan mudahnya mengetuk dan menetapkan keputusan untuk menjadikan daerah pemekaran baru.
Rakyat jangan lagi dibuat menjadi “tameng” untuk kepentingan sekelompok minoritas masyarakat, sudah banyak kaum duwaffa berkeliaran di negeri sepucuk jambi sembilan lurah ini. Muak lapisan kelas bawah menerima dosa-dosa yang sudah ditinggalkan tanpa penghapusan (taubat) sebelum meninggalkan janji-janji nan lebai dan indah. Kaum tertindas hanya berharap setiap kebijakan dan keputusan yang di ambil dapat benar-benar mementingkan kesejahteraan rakyat, jangan cuma mengharapkan adanya desentralisasi fiskal yang menjanjikan pembangian dana segar, tanpa memikirkan apa yang seharusnya dapat digali dalam penambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pembangunan yang merata dan merakyat sangat dibutuhkan dalam perkembangan daerah terisolir, bukan hanya berapa banyak yang didapat dari pemekaran daerah tapi mampukah daerah menggali kemakmuran rakyat. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah sanggupkah kabupaten Muarobungo melepaskan sebagian Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya kepada kota yang baru lahir dengan surut kemapanan dalam kemampuan untuk mandiri, sedangkan amanah UU otonom dikatakan, kabupaten/kota yang sebelumnya induk daerah, harus memberikan sebagian dana untuk perjalanan roda pemerintahan.
Maka tidak salahkah kita menilai, sejauh mana para inisiator (elite) dalam memahami UU otonomi daerah dan sosial budaya  masyarakat kabupaten Muarobungo yang hendak dijadikan kota Muarobungo, apakah dengan bertambahnya kota di negeri “pinang” ini rakyat bisa sejahtera atau semakin dangkal dengan pendidikan politik yang selalu membodohi kaum kelas menengah kebawah.
Jika kita berpijak pada teori-teori diatas (konsep desentralisasi), banyak perlengkapan harus dijalani untuk pemekaran sayap kabupaten Muarobungo. Bukan hanya syarat yang sudah dituangkan dalam pasal demi pasal, tapi ketentuan yang belum tertuang dalam kesepakatan antara pemerintah dengan rakyat, yakni sosial budaya, adat, paradigama masyarakat, maupun daerah teritorial.
Oleh karena itu, tanggungjawab pemerintah (elite) sangat berat dalam pembenahan landasan kerangka berfikir dan dibutuhkan pemilahan adat kebiasaan menjadi satu kesatuan yang terorganisir agar dijadikan sebuah pijakan baru untuk perkembangan pola pikir yang visionir (berfikir maju). Sungguh sangat ironis jika hal ini kurang diperhatikan oleh para penyuara rakyat, karena sosial budaya yang membuat sebuah negeri menjadi nampak eksistensi (berdiri sendiri) dalam percaturan persaingan peradaban zaman.  


[1] Priyanto Susiloadi, Konsep dan Isu Desentralisasi dalam manajmen pemerintahan di Indonesia,  Oktober 2007
[2] Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, 2008
[3] Susiyati Bambang Hirawan. 2007. “Desentralisasi Fiskal Sebagai Suatu Upaya Meningkatkan Penyediaan Layanan Publik (Bagi Orang Miskin) di Indonesia” . Makalah. Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta, 24 Pebruari.
[4] Priyanto Susiloadi, Op. Cit.,  hal 30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar