Sasaran dari
pelaksanaan desentralisasi adalah mendekatkan pemerintah dengan masyarakat,
sehingga kebutuhan publik bisa dipahami oleh pemimpin. Setiap kebijakan yang
dilakukan pemerintah bisa memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan sebagai tujuan akhir.
Sejak tanggal 1 Januari 2001 telah terjadi penataan
ulang secara vertikal antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Dan
penataan secara horisontal di tingkat pusat antara eksekutif, legislatif dan
yudikatif, maupun di tingkat daerah.[1] Dalam
Peraturan Pemerintah RI No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
disebutkan Negara Republik
Indonesia adalah negara kesatuan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas pembantu, konsep desentralisasi ini secara utuh dan bulat
diserahkan pusat kepada daerah otonom untuk memberikan kesempatan dan
keleluasan agar mengelola maupun mengurusnya sesuai apa yang menjadi kebutuhan
masyarakat agar berjalan diatas peranturan undang-undang.
Kabupaten
Muarobungo adalah salah satu kabupaten/kota yang besar dan maju dalam
pembangunan sejak pemekaran dari kabupaten Bungotebo, tidak menutup kemungkinan
kabupaten baru terpisah dari Bungotebo ini, yang masih berumur lebih kurang 10
tahun dapat mengembangkan sayap untuk pembentukan daerah pemekaran.
Meskipun
dalam ranah pelaksanaan banyak hal yang harus dipenuhi untuk pengembangan sayap
itu, baik secara administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Provinsi
Jambi dahulu mempunyai lima
kabupaten/kota yang sukar dengan perkembangan isue-isue kesejahteraan, dengan
berjalannya sistem demokratis dan ditetapkan UU otonomi daerah sebagai landasan
utama dalam pembangunan di setiap kabupaten/kota, yang hari ini sudah banyak
memformulasikan dan membenahi sistem pemerintahan yang dijalankan, hal ini
sudah terlihat dengan perkembangan daerah yang dahulu sarat dengan sentralisasi
kini berubah desentralisasi.
Sepuluh
tahun terakhir ini kabupaten Muarobungo banyak mengalami perubahan yang
signifikan, baik dari segi pembangunan infrastruktur maupun dari pendidikan
politik masyarakat. Dari segi infrastruktur sudah nampak dengan berbagai
pengembangan fasilitas publik, semangat nasionalis kedaerahan orang nomor wahid di kabupaten Muarobungo mempunyai
niat baik untuk mengembangkan daerah kelahirannya, dengan berbagai variasi
perubahan yang dilakukannya membuat banyak kemajuan didapatkan oleh daerah
perbatasan Sumbar-Jambi ini.
Begitu juga
jika kita melihat dari bidang pendidikan politik yang berkembang saat kini, daerah
yang besemboyan “langkah serentak
selimbai berayun” ini mempunyai kedewasaan dalam kancah perpolitikan,
dengan dibuktikan bermunculannya kandidat calon bupati yang notabine putra daerah bungo. Inilah saya
memandang bahwa kabupaten Muarobungo mempunyai catatan baik dalam sejarah
provinsi Jambi, karena mampu untuk memberdayakan potensi daerah yang baik untuk
kemajuan dan kemakmuran rakyatnya.
Dalam konsep
desentralisasi penyerahan kekuasaan oleh pemerintah pusat ke daerah otonom
dapat dibedakan menjadi empat pembangian wewenang adalah : [2]
1. Desentralisasi politik, melimpahkan kepada daerah kewenangan yang lebih
besar yang menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan
standar dan berbagai peraturan.
2. Desentralisasi administrasi, berupa redistribusi kewenangan,
tanggungjawab dan sumber daya di antara berbagai tingkat pemerintahan. Kapasitas
yang memadai disertai kelembagaan yang cukup baik di setiap tingkat merupakan
syarat agar hal ini bisa efektif.
3. Desentralisasi fiskal, menyangkut kewenangan menggali sumber-sumber
pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi,
dan menentukan belanja rutin maupun investasi.
4. Desentralisasi ekonomi, adalah tahapan berikut dari proses
desentralisasi di Indonesia, daerah dituntut untuk lebih bertanggung jawab
terhadap permasalahan ekonomi lokal sekaligus mengoptimalkan potensi ekonomi
yang dimilikinya.
Desentralisasi
fiskal di Indonesia ditandai dengan proses pengalihan sumber keuangan bagi
daerah dalam jumlah yang sangat signifikan. Dibandingkan dengan era sebelum
desentralisasi, transfer dari pusat kepada daerah dalam bentuk Dana
Perimbangan, melonjak drastis, baik secara proporsi maupun jumlah absolut. Dana
Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH)
dan Dana Alokasi Khusus (DAK) ini berkontribusi kepada lebih dari 85% rata-rata
penerimaan kabupaten/kota, dan sekitar 70% rata-rata penerimaan daerah
provinsi.
Ketika
memasuki era desentralisasi, jumlah total dana APBD berbagai daerah melonjak
menjadi lima sampai dengan 20 kali lipat dari APBD-nya di tahun-tahun terakhir
Orde Baru. Penyebabnya adalah Dana Perimbangan yang sangat signifikan tersebut,
dari tahun 1999 s.d 2006 Dana Alokasi Umum (DAU) mencapai lebih dari Rp 200
trilyun atau rata-rata kenaikan diatas 20% per-tahun.[3]
Prinsip
dasar dari desentralisasi ekonomi adalah kemampuan daerah mengidentifikasi
kebutuhan masyarakat serta kemampuan institusi daerah. Desentralisasi ekonomi dapat
didefinisikan sebagai persaingan ekonomi yang sehat antar daerah, tidak berarti
menjadikan suatu daerah bergerak sendiri, tetapi memaksa daerah belajar
mengukur kemampuannya. Untuk memperkuat skala ekonomi, daerah yang
perekonomiannya kecil dapat bekerja sama dengan daerah lain. Inisiatif
mendorong kerja sama antar kabupaten/kota yang bertetangga dapat dilakukan
pemerintah provinsi, sebagaimana yang diamanahkan dalam pasal 195-197 UU No. 32 tahun 2004.
Secara
eksplisit, maka manfaat dari kebijakan desentralisasi terhadap layanan publik
adalah :
1. Desentralisasi
dapat mendorong partisipasi dari publik yang difasilitasi dengan pengeluaran investasi
pemerintah yang pro-rakyat.
2. Desentralisasi
dapat membantu pemerintah daerah memperbaiki dari pelaksanaan pelayanan publik
untuk rakyat dan pentargetan dari
program transfer secara efisien.[4]
Oleh karena
itu, desentralisasi sangat membutuhkan daerah-daerah yang mempunyai kemapanan
dalam kemampuan untuk pengembangan daerah tertinggal, dalam konteks
perkembangan isue paradigma pemekaran daerah kabupaten Muarobungo menjadi kota
Muarobungo sangat dibutuhkan kejelian dalam penetapan keputusan, karena amanah
dari UU otonomi daerah banyak hal yang harus dipersiapkan dan kemampuan daerah
untuk mandiri. Jangan karena memikirkan “bank
saku” para elite politik, dengan mudahnya mengetuk dan menetapkan keputusan
untuk menjadikan daerah pemekaran baru.
Rakyat
jangan lagi dibuat menjadi “tameng”
untuk kepentingan sekelompok minoritas masyarakat, sudah banyak kaum duwaffa berkeliaran di negeri sepucuk jambi sembilan lurah ini.
Muak lapisan kelas bawah menerima
dosa-dosa yang sudah ditinggalkan tanpa penghapusan (taubat) sebelum meninggalkan janji-janji nan lebai dan indah. Kaum
tertindas hanya berharap setiap kebijakan dan keputusan yang di ambil dapat
benar-benar mementingkan kesejahteraan rakyat, jangan cuma mengharapkan adanya
desentralisasi fiskal yang menjanjikan pembangian dana segar, tanpa memikirkan
apa yang seharusnya dapat digali dalam penambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pembangunan yang merata dan merakyat sangat dibutuhkan dalam perkembangan
daerah terisolir, bukan hanya berapa banyak yang didapat dari pemekaran daerah
tapi mampukah daerah menggali kemakmuran rakyat. Selanjutnya yang menjadi
pertanyaan adalah sanggupkah kabupaten Muarobungo melepaskan sebagian
Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya kepada kota yang baru lahir dengan surut
kemapanan dalam kemampuan untuk mandiri, sedangkan amanah UU otonom dikatakan,
kabupaten/kota yang sebelumnya induk daerah, harus memberikan sebagian dana
untuk perjalanan roda pemerintahan.
Maka tidak
salahkah kita menilai, sejauh mana para inisiator (elite) dalam memahami UU otonomi daerah dan sosial budaya masyarakat kabupaten Muarobungo yang hendak
dijadikan kota Muarobungo, apakah dengan bertambahnya kota di negeri “pinang” ini rakyat bisa sejahtera atau
semakin dangkal dengan pendidikan politik yang selalu membodohi kaum kelas
menengah kebawah.
Jika kita
berpijak pada teori-teori diatas (konsep
desentralisasi), banyak perlengkapan harus dijalani untuk pemekaran sayap
kabupaten Muarobungo. Bukan hanya syarat yang sudah dituangkan dalam pasal demi
pasal, tapi ketentuan yang belum tertuang dalam kesepakatan antara pemerintah
dengan rakyat, yakni sosial budaya, adat, paradigama masyarakat, maupun daerah
teritorial.
Oleh karena
itu, tanggungjawab pemerintah (elite)
sangat berat dalam pembenahan landasan kerangka berfikir dan dibutuhkan pemilahan adat kebiasaan menjadi satu
kesatuan yang terorganisir agar dijadikan sebuah pijakan baru untuk
perkembangan pola pikir yang visionir (berfikir
maju). Sungguh sangat ironis jika hal ini kurang diperhatikan oleh para
penyuara rakyat, karena sosial budaya yang membuat sebuah negeri menjadi nampak
eksistensi (berdiri sendiri) dalam
percaturan persaingan peradaban zaman.
[1]
Priyanto Susiloadi, Konsep dan Isu Desentralisasi dalam manajmen pemerintahan di Indonesia, Oktober 2007
[2]
Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, 2008
[3]
Susiyati Bambang Hirawan. 2007. “Desentralisasi
Fiskal Sebagai Suatu Upaya Meningkatkan Penyediaan Layanan Publik (Bagi Orang
Miskin) di Indonesia” . Makalah. Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai
Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Jakarta, 24 Pebruari.
[4]
Priyanto Susiloadi, Op. Cit., hal 30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar